Permasalahan atau disebut juga sengketa menjadi hal lumrah terjadi dikehidupan bermasyarakat. Permasalahan atau sengketa biasanya banyak terjadi pada berbagai aspek kehidupan baik itu ekonomi dan bisnis maupun dalam keseharian dalam hidup masyarakat luas. Perbedaan pendapat, benturan kepentingan, hingga rasa takut dirugikan kerap menjadi sebab permasalahan atau sengketa tersebut terjadi.
Sengketa acap kali menjadi momok yang menakutkan bagi sebagian besar pihak yang melakukan perbuatan hukum dalam hal ini khususnya saat melakukan sebuah kontrak, apakah itu saat melakukan perjanjian/kontrak kerja sama, hutang-piutang dan lain sebagainya. Bagaimana tidak, karena tidak semua hal yang awalnya dimulai dengan baik dapat berakhir dengan baik pula, karena pada perjalanannya kadangkala tidak semua berjalan dengan baik sesuai dengan yang telah disepakati dan diharapkan. Manakala terjadi permasalahan maka disitulah sengketa dimulai.
Sengketa sendiri menurut pendapat Nurnaningsih Amriani, (2012: 12) dalam konteks hukum khususnya hukum kontrak, yang dimaksud dengan sengketa adalah perselisihan yang terjadi antara para pihak karena adanya pelanggaran terhadap kesepakatan yang telah dituangkan dalam suatu kontrak, baik sebagian maupun keseluruhan. Dengan kata lain telah terjadi wanprestasi oleh pihak-pihak atau salah satu pihak.
Kondisi inilah yang mengakibatkan tidak sedikit pula pihak-pihak yang bersengketa harus sampai ke meja hijau dimana pihak-pihak yang bersengketa akan memulai perjalanan hukumnya untuk mencari keadilan. Disinilah penegak hukum memainkan perannya apakah sebuah masalah dapat dipecahkan melalui sebuah mekanisme alternatif penyelesaian sengketa yang satu diantaranya dikenal dengan mediasi sebelum memasuki proses peradilan di pengadilan.
Mediasi sendiri mungkin telah familiar ditelinga mayoritas masyarakat di Indonesia. Karena pada hakikatnya mediasi diluar pengadilan sudah dikenal masyarakat dalam proses interaksi sosialnya sehari-hari yang dimana mediasi yang dikenal masyarakat diluar pengadilan sama dengan proses mediasi pada lembaga peradilan. Kedua mediasi tadi baik yang di luar maupun di dalam pengadilan sama-sama menjunjung tinggi nilai luhur yang ada di Bangsa ini yaitu Musyawarah untuk mufakat sehingga kedua pihak yang bersengketa menemukan titik tengah untuk suatu jalan keluar terbaik yang diharapkan win-win solution.
Upaya penyelesaian sengketa melalui mediasi didalam pengadilan, di telah diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa dan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang tentang Kekuasaan Kehakiman (UU Nomor 48 Tahun 2009) secara tegas menyatakan mediasi sebagai salah satu cara penyelesaian sengketa di luar pengadilan. Kedua ketentuan peraturan perundangan inilah yang dijadikan landasan hukum mengapa mediasi yang sesuai pengertian alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan.
Apabila ditelisik secara lebih mendalam, adapun cara-cara untuk menyelesaikan sengketa di luar pengadilan (Alternatif Penyelesaian Sengketa) antara lain dengan cara-cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, dan penilaian ahli, pada umumnya bertumpu dari kemampuan melakukan tawar-menawar, bermusyawarah untuk mencapai mufakat, dan lebih mengedepankan pemecahan sengketa secara damai.
Itulah mengapa maka mediasi yang muaranya diharapkan akan sampai pada musyawarah untuk mencapai mufakat sangat relate dengan nilai-nilai bangsa. Bagaimanapun para pendiri bangsa sudah membuktikan bahwa musyawarah merupakan jalan terbaik bagi bangsa ini untuk memecahkan segala kebuntuan dalam perbedaan pandangan maupun kepentingan dalam segala aspek kehidupan dalam berbangsa dan bernegara.
Mediasi dan Tahapannya
Mari Mengenal Apa itu Mediasi dan Bagaimana Cara Kerjanya, dalam hal ini kita berfokus melihat mediasi yang didalam pengadilan, merujuk dari Peraturan Mahkamah Agung No 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan (PERMA Nomor 1 Tahun 2016), Mediasi adalah cara penyelesaian sengketa melalui proses perundingan untuk memperoleh kesepakatan Para Pihak dengan dibantu oleh Mediator. Mediator adalah Hakim atau pihak lain yang memiliki Sertifikat Mediator sebagai pihak netral yang membantu Para Pihak dalam proses perundingan guna mencari berbagai kemungkinan penyelesaian sengketa tanpa menggunakan cara memutus atau memaksakan sebuah penyelesaian. Menurut Pasal 4 ayat (1) PERMA Nomor 1 Tahun 2016 semua sengketa perdata yang diajukan ke pengadilan termasuk perkara perlawanan (verzet) atas putusan verstek dan perlawanan pihak berperkara (partij verzet) maupun pihak ketiga (derden verzet) terhadap pelaksanaan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap, wajib terlebih dahulu diupayakan penyelesaian melalui mediasi, kecuali perkara-perkara yang oleh PERMA Nomor 1 Tahun 2016 dikecualikan dari mediasi. Jangka waktu mediasi berlangsung paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak penetapan perintah melakukan Mediasi dan dapat diperpanjang paling lama 30 hari. Mediasi bersifat tertutup kecuali para pihak menghendaki lain. Mediasi di dalam pengadilan yang dilakukan sebelum proses pemeriksaan perkara dimulai dapat diselenggarakan di ruang Mediasi Pengadilan atau di tempat lain di luar Pengadilan. Para Pihak yang bersengketa di pengadilan dapat memilih mediator sendiri atau menyerahkan kepada Majelis Hakim untuk menentukan mediatornya. Apabila mediator yang dipilih adalah Hakim atau Pegawai Pengadilan, yang disepakati oleh Para Pihak namun jika Mediator adalah Hakim dan Pegawai Pengadilan maka proses mediasi diselenggarakan di ruang khusus mediasi di Pengadilan.
Singkatnya Mediasi adalah intervensi terhadap suatu sengketa oleh pihak ketiga (mediator) yang dapat diterima kedua belah pihak yang bersengketa, tidak berpihak dan netral serta membantu para pihak yang bersengketa mencapai kesepakatan secara sukarela terhadap permasalahan yang disengketakan. Mediator bertindak sebagai fasilitator yang dimana tugasnya mediator hanya membantu para pihak yang bersengketa dalam menyelesaikan masalah dan tidak mempunyai kewenangan untuk mengambil keputusan. Mediator berkedudukan membantu para pihak agar dapat mencapai kesepakatan yang hanya dapat diputuskan oleh para pihak yang bersengketa. Mediator tidak memiliki kewenangan untuk memaksa, tetapi berkewajiban untuk mempertemukan para pihak yang bersengketa. Mediator harus mampu menciptakan kondisi yang kondusif sehingga menjamin terciptanya kompromi diantara pihak- pihak yang bersengketa untuk memperoleh hasil yang saling menguntungkan.
Tahapan mediasi terdiri dari 3 Tahapan Utama, yaitu :
1. Pramediasi;
2. Proses Mediasi;
3. Perdamaian Sukarela.
lebih rinci tahapan mediasi dapat dilihat pada infografis berikut.
Pada infografis dapat dilihat pada bagian tahapan hasil mediasi dimana ada tiga probabilitas yaitu mediasi dapat berhasil, berhasil sebagian dan mediasi mengalami kegagalan. Adapun tindak lanjut ketika mediasi berhasil adalah diperolehnya akta perdamaian dan dilakukannya pencabutan gugatan, ketika mediasi berhasil sebagian maka tindak lanjutnya berupa diperolehnya akta perdamaian dan dilanjutkannya pemeriksaan perkara “sebagian” untuk hal yang tidak disepakati, ketika mediasi berakhir gagal maka akan ditindaklanjuti dengan pemeriksaan perkara.
Pada akhirnya tiada kemenangan dalam sebuah pertikaian karena bilamana pihak yang menang pun menjadi arang, dan yang kalah menjadi debu. Sehingga “nafas” dalam musyawarah untuk mufakat pada sebuah mediasi harus menjadi keutamaan agar didapat best solution yang akan bermanfaat untuk semua pihak. Sebagai penutup mengutip kalimat bijak dari Eleanor Roosevelt Ibu Negara Amerika Serikat dari tahun 1933 sampai tahun 1945 "Keadilan tidak bisa untuk satu sisi saja, tetapi harus untuk keduanya."
Christianto Y V Tarigan, Penulis adalah Analis Kebijakan di Kementerian PUPR dan Karya Siswa Magister Super Spesialis Hukum Kontrak Konstruksi Universitas Andalas.
Editor : Odi Siregar
Artikel Terkait