MEDAN, iNewsMedan.id - Barisan Advokat Bersatu (Baradatu) melaporkan tiga hakim PN Medan ke Komisi Yudisial (KY). Hal itu ditengarai vonis lepas (onslag) terhadap pasangan suami istri (pasutri) yang didakwa melakukan pemalsuan surat hingga merugikan perusahaan senilai Rp583 miliar.
Dua terdakwa pemalsuan tanda tangan, yakni direktur perusahaan bernama Yansen (66) dan Meliana Jusman (66). Keduanya divonis lepas oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Medan, pada 6 November 2024 lalu.
Ketua Umum Barisan Advokat Bersatu, Herwanto Nurmansyah, menilai vonis bebas tersebut sangat janggal. Mengingat, pemalsuan surat terbukti, namun majelis hakim memutuskan bahwa perbuatan pasutri tersebut bukan merupakan tindak pidana.
"Ini sangat membingungkan, perbuatan terbukti tetapi tidak dianggap sebagai peristiwa pidana," ujarnya di Komisi Yudisial, Jalan Kramat Raya, Jakarta Pusat, Rabu (13/11/2024).
Menurut Herwanto, keputusan ini menimbulkan kecurigaan soal adanya praktik "main mata" dalam proses pengambilan keputusan. Hal itu menimbulkan dugaan adanya penyuapan terhadap majelis hakim yang menangani perkara.
Maka dari itu, sebut Herwanto, Baradatu melaporkan tiga hakim yang terlibat dalam putusan ini yakni M Nazir sebagai Hakim Ketua, Efrata Happy Tarigan sebagai Hakim Anggota dan Khairulludin sebagai Hakim Anggota.
Herwanto juga menyandingkan perkara ini dengan kasus penganiayaan yang menyebabkan kematian terhadap Dini Sera Afrianti oleh terdakwa Gregorius Ronald Tannur di Surabaya, Jawa Timur. Ronald dinyatakan bebas oleh hakim meskipun terdapat bukti kuat mengenai tindakan pelanggaran hukum.
Alhasil, tiga hakim PN Surabaya, yakni Erintuah Damanik, Mangapul dan Heru Hanindyo ditetapkan menjadi tersangka atas dugaan menerima suap dari pengacara Ronald Tannur, Lisa Rahman. Lisa juga ditetapkan sebagai tersangka.
"Kami berharap Komisi Yudisial memeriksa dan memanggil para hakim ini, kami menduga, bisa jadi ini adalah perkara (penyuapan hakim) jilid 2 seperti Ronald tanur di Jawa Timur Surabaya," jelas Herwanto.
Herwanto mengingatkan bahwa kejadian semacam ini bisa dihindari dengan pengawasan ketat oleh KY sejak dini, bukan hanya melakukan evaluasi setelah terjadi.
“Kami berharap KY dapat mencegah kejadian seperti ini sejak awal, terutama dalam kasus yang melibatkan kerugian besar seperti ini,” terang Herwanto.
Tak hanya KY, ungkap Herwanto, Baradatu juga berencana melaporkan kasus ini ke Komisi III hingga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
"Menurut analisa hukum kami ada dugaan majelis hakim telah salah dan keliru dalam menentukan putusan ini," ucapnya.
Baradatu juga meminta onslag PN Medan mendapat perhatian dari komisi hukum DPR. Ia berharap komisi hukum DPR bergerak seperti saat pertama kali merespons vonis bebas Ronald Tannur.
"Kita belajar dari peristiwa yang di Surabaya, Jawa Timur begitu cepatnya reaksi Komisi III DPR RI merespon putusan bebas Ronald. Nah dengan perkara ini kami harap responnya harus cepat juga," harap Herwanto.
Lebih lanjut, Herwanto menyampaikan akan mendatangi Komisi III DPR RI dalam beberapa hari ke depan. Hal itu demi mendapat perhatian serius dalam kasus tersebut.
"Kami memulai hari ini dari Komisi Yudisial, mungkin dalam hitungan beberapa hari ke depan kami juga akan mendatangi Komisi III, bahkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)," pungkas Herwanto.
Editor : Odi Siregar
Artikel Terkait