Perampasan Aset Hasil Tindak Pidana Korupsi Efek Jera Bagi Koruptor

Pengembangan hukum dalam lingkup internasional penyitaan dan perampasan hasil tindak pidana dan instrumen tindak pidana begitu berkembang pesat. Kebutuhan terhadap sistem hukum yang memungkinkan dilakukannya penyitaan dan perampasan hasil tindak pidana secara efektif dan efisien, dilakukan dengan tetap memperhatikan nilai-nilai keadilan dengan tidak melanggar hak-hak perorangan, Indonesia telah meratifikasi konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa antara lain Konvensi Internasional Pemberantasan Pendanaan Terorisme dan Konvensi Menentang Korupsi, mengatur ketentuan-ketentuan upaya mengidentifikasi, mendeteksi, dan membekukan serta perampasan hasil dan instrumen tindak pidana.
Untuk melumpuhkan kejahatan korupsi lebih efektif jika pelaku dipidana penjara dan hasil kejahatannya disita dan dirampas oleh negara. Beberapa ketentuan pidana di Indonesia sudah mengatur mengenai upaya untuk menyita dan merampas hasil Tindak Pidana Korupsi tersebut. Modus menyembunyikan hasil korupsi biasanya menggunakan sanak keluarga, kerabat dekat atau orang kepercayaannya. Usaha pengembalian uang negara juga terganjal oleh karakteristik tindak pidana korupsi yang pembuktiannya sangat detail dan memakan wktu yang panjang. Sementara upaya koruptor menyembunyikan harta hasil korupsi sudah dilakukan sejak korupsi itu terjadi.
Karakteristik kejahatan korupsi sulit dilihat karena tertutup oleh kegiatan pekerjaan yang normal dan rutin, kompleks berkaitan dengan kebohongan, penipuan, pencurian, pelakunya kelihatan seolah-olah baik dan memiliki kedudukan terhormat. Pandangan yang mendua terhadap pelaku kejahatan korupsi yang sebagaian besar adalah pejabat, menunjukkan bahwa kejahatan ini bukan termasuk kejahatan yang biasa (conventional crime/blue collar crime) melainkan sudah termasuk kategori white collar crime di sektor publik yang melibatkan pihak-pihak pemegang kekuasaan publik dan pejabat pemerintahan. Kejahatan jabatan (occuptional crime) bentuknya sebagian besar berupa korupsi suap-menyuap, pungli dan gratifikasi.
Perkembangan teknologi dan sistem keuangan yang semakin modern membuat kejahatan korupsi mengalami perubahan modus untuk mengelabui penegak hukum, sehingga penegak hukum perlu memaksimalkan kerjasama dengan institusi kuangan Perbankan, Pusat Pelaporan Analisa Transaksi Keuangan (PPATK), Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Badan Intelijen Negara (BIN), imigrasi dan badan-badan lainnya. Tindak Pidana Korupsi trend diikuti dengan tindak pidana pencucian uang (money laundering), untuk menyamarkan hasil kejahatan dengan menggunakan hasil tindak pidana ke dalam kegiatan yang seolah-olah tidak melanggar hukum, follow up crime dari pemanfaatan hasil kejahatan asal korupsi.
Pasal 3 Undang-Undang TPPU merumuskan “Setiap Orang yang menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membelanjakan, membayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan mata uang atau surat berharga atau perbuatan lain atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan dipidana karena tindak pidana Pencucian Uang dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling banyak Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah)”. Namun penerapan TPPU dalam penanganan korupsi di Indonesia masih sangat jarang diterapkan.
Padahal sebenarnya pengembalian aset merupakan tujuan utama dalam penanganan pidana korupsi. Pengembalian aset adalah proses pelaku-pelaku kejahatan dicabut, dirampas, dihilangkan haknya dari hasil tindak pidana. Dimana pengembalian aset tersebut lebih menekankan pada mengembalikan aset berarti merampas dan mencabut hak milik negara, aset yang dirampas adalah hasil atau keuntungan yang diperoleh dari korupsi, dan tujuan pengembalian aset untuk mencegah agar tidak digunakan untuk melakukan tindak pidana lain.
Penanganan kasus korupsi di Indonesia masih jarang sekali menerapkan tindak pidana pencucian uang untuk memaksimalkan pengembalian uang hasil korupsi. Masih sering kita jumpai begitu terpidana koruptor selesai menjalani hukuman penjara, masih lenggang kangkung dan tebar pesona tanpa ada beban malu karena masih mempunyai banyak uang.
Sehingga poinnya adalah mengungkap tindak pidana korupsi sebagai tindak pidana asal dengan pemidanaan menempatkan pelaku di penjara belum cukup efektif, upaya pemidanaan dengan penyitaan aset hasil kejahatan tindak pidana korupsi dengan menerapkan tindak pidana pencucian uang untuk pengembalian kerugian keuangan negara menjadi salah satu instrument hukum yang dapat digunakan untuk memiskinkan koruptor. Perampasan aset hasil korupsi dengan menerapkan Undang-Undang TPPU akan lebih efektif untuk pengembalian kerugian keuangan negara dan memberikan efek jera bagi koruptor.
Editor : Vitrianda Hilba SiregarEditor Jakarta