get app
inews
Aa Text
Read Next : Dugaan Korupsi Rp817 Juta, Kejati Sumut Tahan Kadis Budpar Ekraf Provsu

Perampasan Aset Hasil Tindak Pidana Korupsi Efek Jera Bagi Koruptor

Senin, 27 November 2023 | 13:28 WIB
header img
Manguni WD Sinulingga, S.H., M.H, Mahasiswa Program Studi Doktor Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara 2023. Foto: Istimewa

Disusun Oleh: 

1. Manguni WD Sinulingga, S.H., M.H (Mahasiswa Program Studi Doktor Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara 2023) 

2. Dr. Mahmul Siregar, S.H., M.Hum (Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara)

 

  1. Latar Belakang

Korupsi menjadi tantangan besar bagi bangsa Indonesia, penyakit menular yang berdampak korosif, melemahkan tatanan hukum, menghambat pertumbuhan ekonomi, menciptakan kesenjangan sosial, pelayanan publik yang buruk hingga berdampak pada rendahnya kepercayaan masyarakat kepada penyelenggara negara dan penegak hukum. Masyarakat semakin pesimis terhadap penegakan hukum, demokrasi  dan pemberantasan korupsi di Indonesia.

Menjelang ahir tahun 2023, kita dikejutkan dengan perkara yang ditangani KPK yang telah menetapkan Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) Prof. Edward Omar Sharif Hiariej. S.H., M.Hum, sebagai tersangka, yang diduga menerima suap dan gratifikasi. Kemudian penetapan Ketua KPK Firli Bahuri sebagai tersangka Perkara dugaan pemerasan, penerimaan gratifikasi, dan penerimaan suap terkait penanganan permasalahan hukum di kementerian pertanian pada tahun 2020 hingga 2023.

Ditetapkannya ketua KPK Firli Bahuri sebagai tersangka kasus dugaan pemerasan terhadap mantan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo membuat citra institusi penegak hukum semakin terpuruk sepanjang sejarah reformasi. Seakan melengkapi rapor buruk pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia. Transparency International meluncurkan hasil Corruption Perception Index (CPI) tahun 2022, Corruption Perception Index merupakan indikator untuk mengukur persepsi korupsi sektor publik di 180 negara, pada tahun 2022 Indonesia menempati peringkat ke-110 dari 180 negara dengan skor 34 poin, memburuk dari tahun 2021 berada di peringkat ke-96, dari 180 negara, memburuk 4 poin dari skor sebelumnya 38 poin.

 

  1. Dampak Korupsi

Korupsi sangat merugikan Negara, memperlambat pertumbuhan ekonomi, menurunkan semangat investasi, meningkatnya kemiskinan, meningkatnya ketimpangan pendapatan, menurunkan tingkat kebahagiaan masyarakat. Belum selesai pengungkapan kasus-kasus korupsi masa lalu, kasus-kasus korupsi baru bermunculan seiring berjalannya waktu. Dampak korupsi terasa hampir di seluruh sendi kehidupan, melemahkan sistem perekonomian, demokrasi, politik, hukum, pemerintahan, dan tatanan sosial masyarakat.

Korupsi harus dipandang sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crime), memerlukan upaya luar biasa (extra ordinary effort) untuk memberantasnya, melalui upaya koordinasi, supervisi, monitoring, penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di sidang pengadilan, dan meningkatkan peran serta masyarakat dalam memberantasnya rasanya sudah tidak cukup.

Kalau tidak dirampas asset hasil korupsi yang dilakukan para koruptor, hanya mengedepankan pidana penjara, maka korupsi akan terus berlanjut. Dengan uang, koruptor bisa meruntuhkan integritas penegak hukum dan tidak jarang menjadi pintu masuk terjadinya tindak pidana lain, dan tontonan kasus korupsi baru akan terus berlanjut. Maka sangat perlu diberlakukan perampasan asset hasil Tindak Pidana Korupsi, miskinkan koruptor, tentunya dengan mengoptimalkan penerapan peraturan perundang-undangan yang ada.

 

  1. Perampasan Aset Hasil Korupsi

Kejahatan Korupsi memiliki karakteristik tersendiri selalu berkorelasi dengan uang dan kekuasaan. Pelakunya memiliki kekuasaan, apakah politik, ekonomi, birokrasi, hukum maupun pengaruh. Korupsi perbuatan merugikan keuangan negara untuk memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporat, baik dengan menyalahgunakan kewenangan karena jabatan atau kedudukan, melakukan pemerasan, suap-menyuap, menerima gratifikasi dan perdagangan pengaruh trading in influence.

Tindak pidana korupsi berupa suap-menyuap, penggelapan dalam jabatan, pemerasan, perbuatan curang, benturan kepentingan dalam pengadaan, gratifikasi, selalu berhubungan dengan persoalan uang. Korupsi selalu berkorelasi dengan uang dan kekuasaan. Tujuan utama pelaku korupsi untuk mendapatkan harta kekayaan yang sebanyak-banyaknya, sehingga cara yang efektif memberantasnya dengan merampas hasil kejahatan korupsi tersebut.

 Konstruksi hukum pidana Indonesia masih bertujuan untuk mengungkap tindak pidana yang terjadi, menemukan pelakunya menghukum pelaku dengan sanksi pidana penjara. Jika Koruptor hanya dijatuhi hukuman penjara tapi harta hasil kejahatan korupsinya tidak dikembalikan ke negara dan tidak dimiskinkan, ketika bebas dari penjara, pelaku masih kaya dengan harta hasil korupsi maka koruptor masih bisa tebar pesona. Dampaknya, pemidanaan koruptor dipandang tidak maksimal, melukai rasa keadilan masyarakat dan tidak memberikan efek jera.

Untuk memaksimalkan penanganan kejahatan korupsi  perlu dilakukan penyitaan dan perampasan aset hasil Tindak Pidana Korupsi dengan instrumen hukum pidana yang efektif dan efisien dan segera. Tindak Pidana Korupsi modus operandinya semakin berkembang, semakin kompleks karena melibatkan pelaku yang terpelajar dan seringkali bersifat transnasional atau lintas negara dengan motif ekonomi kerakusan untuk mendapatkan harta kekayaan yang sebanyak-banyaknya.  

Pengembangan hukum dalam lingkup internasional penyitaan dan perampasan hasil tindak pidana dan instrumen tindak pidana begitu berkembang pesat. Kebutuhan terhadap sistem hukum yang memungkinkan dilakukannya penyitaan dan perampasan hasil tindak pidana secara efektif dan efisien, dilakukan dengan tetap memperhatikan nilai-nilai keadilan dengan tidak melanggar hak-hak perorangan, Indonesia telah meratifikasi konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa antara lain Konvensi Internasional Pemberantasan Pendanaan Terorisme dan Konvensi Menentang Korupsi, mengatur ketentuan-ketentuan upaya mengidentifikasi, mendeteksi, dan membekukan serta perampasan hasil dan instrumen tindak pidana.

Untuk melumpuhkan kejahatan korupsi lebih efektif  jika pelaku dipidana penjara dan hasil kejahatannya disita dan dirampas oleh negara. Beberapa ketentuan pidana di Indonesia sudah mengatur mengenai upaya untuk menyita dan merampas hasil Tindak Pidana Korupsi tersebut. Modus menyembunyikan hasil korupsi biasanya menggunakan sanak keluarga, kerabat dekat atau orang kepercayaannya. Usaha pengembalian uang negara juga terganjal oleh karakteristik tindak pidana korupsi yang pembuktiannya sangat detail dan memakan wktu yang panjang. Sementara upaya koruptor menyembunyikan harta hasil korupsi sudah dilakukan sejak korupsi itu terjadi.

Karakteristik kejahatan korupsi sulit dilihat karena tertutup oleh kegiatan pekerjaan yang normal dan rutin, kompleks berkaitan dengan kebohongan, penipuan, pencurian, pelakunya kelihatan seolah-olah baik dan memiliki kedudukan terhormat. Pandangan yang mendua terhadap pelaku kejahatan korupsi yang sebagaian besar adalah pejabat, menunjukkan bahwa kejahatan ini bukan termasuk kejahatan yang biasa (conventional crime/blue collar crime) melainkan sudah termasuk kategori white collar crime di sektor publik yang melibatkan pihak-pihak pemegang kekuasaan publik dan pejabat pemerintahan. Kejahatan jabatan (occuptional crime) bentuknya sebagian besar berupa korupsi suap-menyuap, pungli dan gratifikasi.  

Perkembangan teknologi dan sistem keuangan yang semakin modern membuat kejahatan korupsi mengalami perubahan modus untuk mengelabui penegak hukum, sehingga penegak hukum perlu memaksimalkan kerjasama dengan institusi kuangan Perbankan, Pusat Pelaporan Analisa Transaksi Keuangan (PPATK), Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Badan Intelijen Negara (BIN), imigrasi dan badan-badan lainnya. Tindak Pidana Korupsi trend diikuti dengan tindak pidana pencucian uang (money laundering), untuk menyamarkan hasil kejahatan dengan menggunakan hasil tindak  pidana ke dalam kegiatan yang seolah-olah tidak melanggar hukum,  follow up crime dari pemanfaatan hasil kejahatan asal korupsi.

Pasal 3 Undang-Undang TPPU merumuskan “Setiap Orang yang menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membelanjakan, membayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan mata uang atau surat berharga atau perbuatan lain atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan dipidana karena tindak pidana Pencucian Uang dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling banyak Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah)”. Namun penerapan TPPU dalam penanganan korupsi di Indonesia masih sangat jarang diterapkan.

Padahal sebenarnya pengembalian aset merupakan tujuan utama dalam penanganan pidana korupsi. Pengembalian aset adalah proses pelaku-pelaku kejahatan dicabut, dirampas, dihilangkan haknya dari hasil tindak pidana. Dimana  pengembalian aset tersebut lebih menekankan pada mengembalikan aset berarti merampas dan mencabut hak milik negara, aset yang dirampas adalah hasil atau keuntungan yang diperoleh dari korupsi, dan tujuan pengembalian aset untuk mencegah agar tidak digunakan untuk melakukan tindak pidana lain.

Penanganan kasus korupsi di Indonesia masih jarang sekali menerapkan tindak pidana pencucian uang untuk memaksimalkan pengembalian uang hasil korupsi. Masih sering kita jumpai begitu terpidana koruptor selesai menjalani hukuman penjara, masih lenggang kangkung dan tebar pesona tanpa ada beban malu karena masih mempunyai banyak uang.

Sehingga poinnya adalah mengungkap tindak pidana korupsi sebagai tindak pidana asal dengan pemidanaan menempatkan pelaku di penjara belum cukup efektif, upaya pemidanaan dengan penyitaan aset hasil kejahatan tindak pidana korupsi dengan menerapkan tindak pidana pencucian uang untuk pengembalian kerugian keuangan negara menjadi salah satu instrument hukum yang dapat digunakan untuk memiskinkan koruptor. Perampasan aset hasil korupsi dengan menerapkan Undang-Undang TPPU akan lebih efektif untuk pengembalian kerugian keuangan negara dan memberikan efek jera bagi koruptor. 

 

Editor : Vitrianda Hilba SiregarEditor Jakarta

Follow Whatsapp Channel iNews untuk update berita terbaru setiap hari! Follow
Lihat Berita Lainnya
iNews.id
iNews Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik lebih lanjut