Namun, menurutnya, meskipun istilah seperti “kolaborasi” dan “sinergi” kerap diucapkan, realisasinya di lapangan masih minim. Berdasarkan laporan Badan Litbangkes dan Kementerian Kesehatan, keterlibatan sektor non-kesehatan dalam pengendalian malaria masih sangat terbatas.
“Sektor pertambangan, pertanian, pekerjaan umum, bahkan perencanaan daerah berjalan sendiri-sendiri. Tidak ada koordinasi efektif. Contohnya Dinas PU hanya fokus pada drainase di kota, tanpa mempertimbangkan kantong-kantong malaria di wilayah terpencil,” kata Destanul.
Ia juga menyoroti rendahnya pelaporan dari fasilitas kesehatan swasta, lemahnya integrasi edukasi malaria dalam kurikulum sekolah, hingga sikap sektoral yang membuat eliminasi malaria sulit tercapai.
Menurut Destanul, hal ini harus diubah dengan pendekatan sistematis, bukan hanya seremonial. Kolaborasi harus menjadi bagian dari sistem perencanaan dan penganggaran lintas sektor, sejalan dengan visi dan misi Gubernur Sumatera Utara yang baru, Bobby Afif Nasution, yaitu “Sumut BERKAH: Unggul, Maju, dan Berkelanjutan”.
“Dalam kepemimpinan Gubernur Bobby Nasution, kesehatan harus menjadi prioritas. Tidak cukup sekadar berbagi peran, tapi harus ada sistem pelaporan, perencanaan bersama, dan akuntabilitas lintas sektor,” ujarnya.
Ia juga menekankan, keberhasilan kolaborasi sangat bergantung pada share vision, transparansi, peran yang jelas, komunikasi terbuka, serta evaluasi yang dilakukan bersama.
“Contohnya, Dinas Kesehatan fokus pada diagnosis dan pengobatan, Dinas PU pada perbaikan saluran air dan jalan, Dinas Pendidikan menyisipkan edukasi malaria di sekolah, sektor swasta menyediakan logistik, dan pelaporan kasus dilakukan terpadu. Tapi semuanya harus berjalan dalam satu sistem,” tutupnya.
Hari Malaria Sedunia yang diperingati setiap 25 April menjadi momen penting untuk meningkatkan kesadaran global, memperkuat komitmen, dan mendorong aksi nyata dalam upaya pengendalian serta eliminasi malaria.
Indonesia, dengan target eliminasi malaria pada tahun 2030, kini menghadapi tantangan besar, terutama di provinsi-provinsi dengan endemisitas tinggi, termasuk Sumatera Utara.
Webinar yang dibuka secara resmi oleh Husein Habsyi, Pengurus Pusat (PP) Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI), dihadiri juga pemateri lainnya seperti H. Muhammad Faisal Hasrimy, AP, M.AP (Kepala Dinas Kesehatan Sumatera Utara), dr. Inke Nadia Diniyanti Lubis, PGDip PID M.Ked (Ped), Sp.A, Ph.D (Wakil Dekan Bidang Penelitian, Pengabdian kepada Masyarakat, Kerja Sama dan Informasi FK USU), dan dr. Deni Syahputra (Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Batu Bara).
Editor : Ismail
Artikel Terkait