Pada tahun 2024, upaya untuk mendefinisikan ulang pencatatan kematian malaria dilakukan agar setiap kematian dengan hasil tes positif malaria dapat tercatat dengan benar.
Pemerintah Indonesia menargetkan eliminasi malaria pada 2030, dengan rencana untuk menurunkan angka insiden malaria hingga 90% dan angka kematian hingga 90% pada seluruh kabupaten/kota. Dengan kebijakan yang tercantum dalam Permenkes No. 22 Tahun 2022, Indonesia berfokus pada pencegahan, deteksi, dan respon yang lebih cepat.
"Pencegahan dilakukan melalui promosi kesehatan masyarakat, penggunaan kelambu berinsektisida, dan profilaksis malaria untuk mereka yang bekerja di daerah endemis," jelas dr. Ina. Selain itu, deteksi aktif dan pasif juga merupakan kunci penting, dengan upaya survei di daerah rawan seperti Papua, yang mencatat banyak kasus tanpa gejala.
Kementerian Kesehatan juga menekankan pentingnya kolaborasi antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, sektor swasta, akademisi, dan masyarakat untuk mencapai tujuan eliminasi. Dr. Ina mengingatkan, meskipun banyak daerah telah berhasil bebas malaria, tantangan terbesar adalah mempertahankan status eliminasi, karena seringkali terdapat peningkatan kasus setelah pencapaian tersebut.
Dalam forum yang sama, Ketua Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI), Destanul Aulia, SKM, MBA, MEc, Ph.D., menekankan pentingnya kolaborasi lintas sektor dalam upaya eliminasi malaria di Indonesia. Dalam paparannya pada webinar bertema "Peran Kolaboratif Lintas Sektor dalam Eliminasi Malaria", Destanul menggambarkan kenyataan pahit yang masih dihadapi sebagian besar masyarakat di wilayah-wilayah endemis, seperti Kepulauan Nias di Sumatera Utara.
“Saat malam tiba, anak-anak di desa menangis karena demam tinggi. Listrik hanya hidup beberapa jam. Untuk menuju puskesmas harus naik motor melewati hutan atau menyewa perahu—itu pun kalau cuaca bersahabat,” ungkapnya. “Ini bukan cerita fiksi, tapi kenyataan yang masih terjadi.” jelasnya.
Destanul menyoroti bahwa hingga kini terdapat delapan daerah di Sumatera Utara yang masih tergolong endemis malaria, seperti Kabupaten Batu Bara, Nias, Asahan, dan sekitarnya. Menurutnya, malaria bukan hanya soal kesehatan, tetapi juga berdampak pada sektor pendidikan dan ekonomi masyarakat.
Ia menjelaskan bahwa penyebab malaria bersifat kompleks, bukan sekadar karena gigitan nyamuk. Faktor lingkungan, perilaku, literasi kesehatan, kemiskinan, hingga akses terhadap layanan kesehatan turut memperburuk penyebaran penyakit ini.
“Rumah tanpa kelambu, ventilasi buruk, minimnya akses pengobatan, dan mobilitas tinggi antarwilayah memperbesar risiko penyebaran. Bahkan praktik pengobatan tradisional tanpa diagnosis memperburuk kondisi pasien,” jelasnya.
Destanul menyampaikan bahwa untuk mengeliminasi malaria tidak cukup hanya dengan intervensi sektor kesehatan. Dibutuhkan keterlibatan sektor pendidikan, infrastruktur, lingkungan hidup, hingga sektor swasta. Ia mencontohkan bahwa tanpa jalan yang layak, masyarakat tetap sulit mengakses layanan meskipun obat tersedia.
Dalam pemaparannya, Destanul menggarisbawahi pentingnya pendekatan One Health, yaitu sinergi antara kesehatan manusia, hewan, dan lingkungan. Ia menekankan bahwa malaria bukan hanya masalah medis, tetapi juga bagian dari ekosistem kehidupan yang saling mempengaruhi.
“Pengendalian malaria bukan hanya memberi obat, tapi juga menyasar perubahan lingkungan, edukasi masyarakat, serta penguatan sistem kesehatan lokal. Curah hujan, 'hilangnya' hutan, dan pola pertanian semua berkontribusi terhadap habitat nyamuk,” ujar Destanul.
Editor : Ismail
Artikel Terkait