Menurut Dahnil Ginting, UU Dasar 1945 juga menjelaskan bahwa pemilihan umum wajib dilaksanakan setiap lima tahun sekali. Lebih lanjut dalam UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum hanya terdapat dua istilah dalam penundaan Pemilu yaitu Pemilu lanjutan dan Pemilu susulan sebagaimana tertuang dalam Pasal 431 dan 433 UU Pemilu.
"Hal ini menunjukkan bahwa UU Pemilu tidak memberikan ruang sama sekali untuk menunda Pemilu secara nasional. Terhadap Putusan tersebut, sudah seharusnya KPU mengambil langkah yang tepat dengan melakukan perlawanan hukum melalui pengajuan upaya hukum banding ke Pengadilan Tinggi sampai dengan kasasi dan peninjauan kembali di Mahkamah Agung sebelum putusan tersebut berkekuatan hukum tetap/ inkracht," jelasnya.
Melalui upaya hukum ini, kata Dahnil Ginting, diharapkan nantinya hakim tinggi dapat memeriksa ulang fakta-fakta hukum dan bukti-bukti yang sudah diajukan sebelumnya (judex factie) ataupun hakim agung yang dapat memeriksa penerapan hukum terhadap fakta yang sudah diputusakan pengadilan tingkat pertama dan banding (judex jurist).
Ia menambahkan, meski hakim pada dasarnya memang memiliki independensi dalam membuat atau menjatuhkan putusan suatu perkara, namun, dalam menjatuhkan putusannya tersebut hakim tidak boleh melanggar kode etik dan pedoman perilaku hakim.
"Untuk itu, selain melakukan perlawanan melalui upaya hukum, saya sarankan KPU juga dapat melakukan perlawanan hukum lainnya dengan melaporkan Majelis Hakim yang memutus perkara tersebut jika terdapat dugaan pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku hakim kepada komisi yudisial atau KY," terangnya.
Editor : Jafar Sembiring