MEDAN, iNewsMedan.id - Himpunan Mahasiswa dan Pemuda Simalungun (Himapsi) mendesak pemerintah untuk meninjau ulang izin dan bahkan mempertimbangkan penutupan permanen PT Toba Pulp Lestari (TPL) yang dinilai merusak ekologi dan terus berkonflik dengan masyarakat. Selain itu, Himapsi juga mendorong agar Menteri ATR/PN dan Menteri Kehutanan melibatkan intelektual Simalungun dalam penyelesaian konflik agraria di Sihaporas, Kabupaten Simalungun, khususnya terkait perbedaan pandangan mengenai klaim "tanah adat."
Pernyataan ini disampaikan di tengah konflik lahan antara masyarakat Sihaporas dan PT TPL.
Klaim "Tanah Adat" di Sihaporas Dianggap Keliru oleh Himapsi
Ketua Umum Himapsi, Dian G Purba Tambak, menyampaikan bahwa terdapat kekeliruan mendasar dalam penggunaan istilah "tanah adat" di Sihaporas. Berdasarkan bukti sejarah yang diklaim Himapsi, tanah tersebut merupakan kepemilikan Kerajaan Damanik, salah satu dari tujuh marga besar di Simalungun, dan bukan tanah adat secara umum yang diklaim marga lain.
"Berdasarkan kajian ilmiah sesuai dengan rujukan naskah akademik, kami menyampaikan penolakan terhadap istilah tanah adat di Sihaporas," kata Dian pada Selasa (7/10/2025). "Tanah di Sihaporas itu diberikan Tuan Sidamanik kepada marga Ambarita sebagai pendatang untuk bermukim dan perladangan. Perlu diketahui, tanah tersebut bukan hak milik melainkan hanya sebatas untuk memenuhi kebutuhan hidup," tegasnya.
Dian menjelaskan bahwa secara historis, Simalungun memiliki tujuh marga yang menempati wilayahnya sejak zaman kerajaan. Oleh karena itu, klaim oleh "klan lain" terhadap tanah di Sihaporas dianggap keliru karena bertentangan dengan pola kepemilikan dan penguasaan lahan Simalungun yang secara historis direpresentasikan oleh tujuh kerajaan.
"Maka kemudian istilah masyarakat adat sangat tidak tepat, karena berdasarkan sejarah daerah tersebut merupakan wilayah Partuanon Damanik," tambah Dian.
Editor : Jafar Sembiring
Artikel Terkait