JAKARTA, iNewsMedan.id - Ketua Majelis Nasional Perhimpunan Pergerakan 98 Sahat Simatupang mengusulkan revisi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Revisi, kata Sahat diperlukan untuk memastikan status anggota Polri sebagai aparatur penegak hukum sama seperti Jaksa yang berstatus Aparatur Sipil Negara (ASN).
Sahat mengatakan, tahun 1998, atas desakan gelombang unjuk rasa mahasiswa yang salah satunya meminta pemisahan Polri dari ABRI - selain turunkan Soeharto - akhirnya secara resmi Polri berpisah dari ABRI dan lahirlah UU Nomor 2 Tahun 2002.
"Itu salah satu desakan mahasiswa dan aktivis pro demokrasi. Kita ingin Polri keluar dari ABRI atau TNI agar benar-benar jadi penegak hukum. Jadi pemisahan Polri dari ABRI adalah buah reformasi," kata Sahat Simatupang, Rabu (17/8/2022).
Namun pemisahan Polri dari ABRI atau TNI, sambung Sahat seharusnya diikuti status anggota Polri ke dalam rumpun aparatur penegak hukum bersama Kejaksaan.
"Status anggota Polri dan Kejaksaan adalah sama-sama penegak hukum berstatus ASN atau PNS atau sipil. Ini harus dipastikan termasuk dalam mekanisme pengangkatan Jaksa Agung dan Kapolri. Kami melihat ada perbedaan perlakuan UU kepada Calon Jaksa Agung dan Calon Kapolri. Padahal sama - sama ASN penegak hukum dan memiliki kewenangan sama yakni penyelidikan dan penyidikan," ujar Sahat.
Karena itu, ujar Sahat, mereka mengusulkan agar tata cara pengangkatan Kapolri disamakan dengan pengangkatan Jaksa Agung.
"Salah satunya calon Kapolri tidak harus polisi, bisa juga warga sipil sepanjang memenuhi persyaratan. Sebab Jaksa Agung juga tidak harus jaksa aktif, bahkan Jaksa Agung bisa juga dari non jaksa, dan itu pernah terjadi," tutur Sahat.
Sahat menambahkan, bunyi Pasal 11 UU Nomor 2 Tahun 2002 , Kapolri diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan persetujuan DPR; Usul pengangkatan dan pemberhentian Kapolri diajukan oleh Presiden kepada DPR disertai dengan alasannya; dan Calon Kapolri adalah Perwira Tinggi Polri yang masih aktif dengan memperhatikan jenjang kepangkatan dan karier.
"Selain itu Perwira Tinggi Polri yang menjadi calon Kapolri harus dilakukan dengan mempertimbangkan pertimbangan Komisi Kepolisian Nasional. Hal itu diwajibkan berdasarkan Pasal 6 Peraturan Presiden Nomor 17 Tahun 2017 Tentang Kompolnas," tutur Sahat.
Adapun calon Jaksa Agung, ujar Sahat, tidak seperti itu. Padahal sama - sama berstatus ASN penegak hukum." Jaksa Agung tidak harus berstatus Jaksa aktif atau pernah jadi Jaksa. Jaksa Agung bisa dari unsur non Jaksa. Kenapa ? Karena jabatan Jaksa Agung bukan lah jabatan karir. Seharusnya calon Kapolri juga tidak harus Polri aktif bahkan bisa dari kalangan non Polri. Kami usulkan agar Pasal 11 UU Nomor 2 Tahun 2002 direvisi," ujar Sahat.
Sahat menambahkan, belajar dari peristiwa demi peristiwa yang terjadi di tubuh Kepolisian seperti pembunuhan Brigadir Nofriansyah Yoshua Hutabarat atau Brigadir J, penyalahgunaan kekuasaan seperti perintah diluar tugas untuk menembak dan lain sebagainya akan berulang kembali apabila pimpinan tertinggi Polri masih memakai cara militeristik.
"Padahal fungsi utama Polri adalah penegak hukum sipil, bukan militer. Itu tujuan pemisahan Polri dari ABRI. Proses sipilisasi polisi belum berjalan sebagaimana mestinya. Mensipilkan polisi adalah menjadikan polisi lebih manusiawi dalam penegakan hukum. Saya melihat, arogansi kekuasaan dan penggunaan kekerasan masih mendominasi tugas - tugas kepolisian selama ini termasuk pada kasus kematian Brigadir J. Arogansi kekuasaan dan pendekatan kekerasan menjadi sesuatu yang sulit dirubah," kata Sahat.
Salah satu cara mempercepat proses sipilisasi polisi, ujar Sahat adalah merevisi Pasal 11 UU Nomor 2 Tahun 2002 yakni Kapolri tidak harus berasal dari Kepolisian sama seperti Jaksa Agung tidak harus dari unsur pimpinan tinggi Kejaksaan, bahkan bisa dari non Jaksa. Selain itu, ujar Sahat, penunjukan Kapolri tidak lagi diajukan Presiden kepada DPR." Presiden langsung menunjuk dan memilih Kapolri sama seperti menunjuk dan memilih Jaksa Agung." ujar Sahat.
Faktanya, sambung Sahat, intervensi politik kepada Kapolri malah lebih besar dari pada kepada Jaksa Agung, karena Kapolri dipilih DPR yang terdiri dari banyak kepentingan partai politik.
"Jadi usul kami kongkrit, revisi Pasal 11 UU Nomor 2 Tahun 2002. Pertama Kapolri tidak harus berasal dari Pati Polri bahkan bisa dari kalangan non polisi dan yang kedua penunjukan Kapolri tidak lagi diajukan Presiden kepada DPR, melainka langsung ditunjuk Presiden seperti Jaksa Agung," tutur Sahat.
Editor : Odi Siregar
Artikel Terkait