Sebagai perantauan, dia sangat menghormati budaya masyarakat lokal. Salah satunya dibuktikannya dengan belajar berbicara menggunakan bahasa Melayu, yang kala itu sudah menjadi bahasa perantara masyarakat di tanah Deli.
Kehidupannya sangat bersih. Dia begitu tangguh dan tak tergoyahkan, meskipun godaan candu, judi, mabuk-mabukan, dan pelacuran begitu kuat kala itu. Sifatnya yang begitu baik, membuatnya menjadi teladan dan memiliki jiwa kepemimpinan yang menonjol.
Kedewasaan dan kebijaksanaannya dalam setiap berpikir serta bertindak, membuat Tjong A Fie sering menjadi juru damai dan penengah ketika terjadi konflik di antara warga Tionghoa dengan etnis lain.
Kala itu, di wilayah perkebunan Belanda, sering terjadi keributan di kalangan buruh. Keributan itu tak jarang memicu kekacauan yang lebih besar. Berkat kecakapannya, Tjong A Fie sering diminta Belanda untuk membantu menyelesaikan kekacauan-kekacauan itu.
Setelah kakaknya wafat, Tjong A Fie dipercaya menjadi Kapitan pada tahun 1911. Bahkan, atas rekomendasi Sultan Deli, Tjong A Fie akhirnya menjadi anggota gemeenteraad atau dewan kota, dan cultuurraad atau dewan kebudayaan. Tak hanya itu, dia juga menjadi penasihat pemerintah Hindia Belanda untuk urusan Tiongkok.
Sebelum merantau ke Hindia Belanda, Tjong A Fie telah memiliki istri bermarga Lie di Changnam,Tiongkok. Sementara, saat sudah merantau ke Deli, dia menikah dengan Nona Chew dari Penang.
Dari pernikahannya dengan Nona Chew, Tjong A Fie dikaruniai tiga anak, yakni Tjong Kong Liong, Tjong Song-Jin, dan Tjong Kwei-Jin. Pada perjalanannya, Nona Chew meninggal dunia, sehingga Tjong A Fie memutuskan untuk menikah yang ketiga kalinya.
Editor : Odi Siregar