“Jadi, proses seleksi program kelas akselerasi itu, sebaiknya mengacu pada ketentuan dan peraturan. Jangan ditambah-tambah, seperti tes STIFIn yang justru berdampak pada penambahan biaya yang memberatkan orang tua siswa. Ketentuannya sudah jelas diatur dalam pasal ayat (3) pasal 135 PP No 17 tahun 2010,” pungkasnya.
Abyadi juga menambahkan, ada sejumlah alasan meminta Wali Kota Medan, agar langsung mengawasi Penyelenggaraan Progam Pendidikan Khusus Akselerasi (percepatan). Di mana, selain tingginya biaya seleksi, pernah juga ada wacana pemerintah untuk menghapus program pendidikan akselerasi (percepatan) tersebut.
Sambung Abyadi, wacana penghapusan itu pernah dilontarkan oleh Dirjen Pendidikan Menengah (Dikmen) Kemendikbud Achmad Jazidie pada 2014 silam. Bahwasanya, Dirjen Dikmen menjelaskan, siswa yang memiliki potensi CI-BI, dapat mempercepat masa studi dengan mengikuti Sistem Kredit Semester (SKS), sebagaimana diatur dalam Pasal 135 ayat (4) PP No 17 Tahun 2010 Tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan.
Abyadi menjelaskan, menurut Achmad Jazidie, ada dua alasan penutupan kelas tersebut. Pertama siswa CI-BI diharapkan dapat memberi manfaat kepada teman sekelas lantaran tidak berada di kelas eksklusif atau terpisah. Kedua, melalui SKS, tak menutup kemungkinan siswa dapat mempercepat waktu belajarnya.
Senada dengan itu, Abyadi menegaskan bahwa, Pemko Medan jangan sampai menyelenggarakan program pendidikan yang justru sudah dihapus oleh pemerintah. Bahkan, menerapkan biaya yang memberatkan masyarakat. “Saya kira, ini penting menjadi perhatian serius Pak Wali Kota,” tegasnya.
Editor : Odi Siregar