Sementara soal pengawasan, Nelly melihat hal itu memang penting, karena pengawasan itu bisa mengurangi prevalensi perilaku bullying itu.
"Kadang-kadang meadset-nya orang-orang di luar mengatakan belum terjadi kepada anakku, nah ini harus kita edukasi. Karena apapun prilaku itu menyangkut semua anak karena anak orang lain adalah anak kita juga. Jadi, bukan memperlakukan kalau itu terjadi kepada keluarga kita, baru kita antisipasi. Kalau ada gejala-gejala seperti itu artinya akan bisa berdampak kepada semua anak," sebut Nelly mengingatkan.
Jadi, penanganannya harus penanganan holistik secara keseluruh terintegrasi dan itu yang paling penting. Jadi, pengawasan di sekolah, keluarga juga penting bagaimana mengedukasi anak-anak.
Nelly juga mengingatkan teknologi yang semakin berkembang. Percepatan teknologi komunikasi, gadget yang semakin berkembang tidak diiringi dengan literasi juga sangat berdampak. Karena konten-konten di gadget bisa mempengaruhi alam bawah sadar mereka dan meadset mereka, apalagi prilaku yang negatif.
Konten-konten yang negatif itu dan percepatan teknologi itu tidak dibarengi dengan literasi dan itu yang sayangkan.
"Kalau di negara maju percepatan teknologi dibarangi dengan literasi. Nah, kalau di kita belum bisa menerima itu," ucap Nelly.
Karena percepatan teknologi itu dan gampang diperoleh ternyata banyak aspek-aspek yang muncul secara perilaku. Misalnya karena instan mendapatkan maka banyak orang yang tidak bertanggung jawab dan mudah emosi sering tidak mementingkan dampak negatifnya.
"Sekarang kita lihat kalau apa-apa selalu diviralkan ke media sosial, nah, ini mereka tidak melihat dampaknya ke depan seperti apa dan ini banyak orang yang tidak sadar," beber dia.
Selain itu gep sosial bisa menunjukan siapa jati dirinya (orang kaya atau terpandang) dan bisa menindas orang yang lemah.
Jadi pendidikan keluarga juga sangat penting mengantisipasi masalah bully. Jadi,akar masalahnya tidak satu, bisa bermacam ragam karena kompleks. Dan untuk penanganannya juga harus berhati-hati.
Di sisi lain pola asuh sudah berbeda dengan pola asuh yang dulu. Banyak anak sekarang kalau dimarahi guru lapor ke keluarga dan keluarga balik marahi guru.
Hal ini berbeda sekali dengan pola asuh pada masa dulu. Sekarang banyak anak-anak yang kurang literasi karena pengaruh teknologi yang semakin berkembang.
Seharusnya di lembaga-lembaga pendidikan harus terus dikembangkan literasi untuk perkembangan teknologi. Nah, budaya masyarakat belum terbangun literasi itu dan sulit menjadi kesadaran dan menjadi kebiasaan atau hebit dan mau tidak mau ini harus dibangun. "Ini menjadi pembelajaran kita, supaya tidak terjadi di keluarga kita," pungkas Nelly.
Diawali Sikap Permisif Orangtua, Diakhiri Tindakan Agresif dan Balas Dendam Anak Terhadap Teman
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Programme for International Students Assessment (PISA, 2018), Psikolog sekaligus Direktur Minauli Consulting Irna Minauli mengungkapkan Indonesia menempati posisi kelima tertinggi dari 78 negara yang muridnya paling banyak mengalami perundungan (41,1%).
Angka ini jauh melampaui rata-rata negara anggota OECD (Organisation for Economic Cooperation and Development) yang hanya sebesar 22,7%.
Kondisi ini tentunya sangat memprihatinkan sehingga perlu mendapatkan perhatian yang serius dari berbagai pihak. Sekolah yang seharusnya menjadi tempat yang aman, namun kenyataannya sering menyimpan sumber trauma yang mendalam bagi mereka yang mengalaminya.
Jika dilihat dari pola pengasuhan yang dilakukan orang tua terhadap anak yang melakukan perundungan, tampaknya pola asuh permisif, orang tua yang serba boleh membuat anak tidak mengenal aturan dan norma-norma sosial yang harus diikuti dan ditaati anak.
Selain itu, anak yang menyaksikan atau mengalami kekerasan dalam rumah tangga juga membuat anak menjadi lebih agresif karena mereka memendam kemarahan yang sangat besar.
Terlebih ketika hubungan dengan saudara kandung yang kurang akur, juga menimbukan perasaan tidak berdaya sehingga kesemuanya itu membuat anak berusaha mendapat perasaan berharga dan berkuasa dengan cara melakukan perundungan terhadap anak-anak lain.
Faktor kepribadian tertentu juga mempengaruhi seseorang lebih rentan untuk melakukan perundungan. Mereka yang memiliki harga diri yang rendah membuat mereka cenderung untuk mengkompensasi kekurangannya dengan menunjukkan dominasinya pada anak lain.
Ketika ada anak lain yang tidak mengikuti apa yang diinginkannya membuat dirinya merasa sangat tersinggung karena dianggap melukai harga dirinya. Mereka sering kali memberikan komentar negatif terhadap penampilan, kemampuan atau kecerdasan anak-anak lain.
Mereka menjadi tidak toleran terhadap suku, budaya atau gaya hidup anak lain. Sikap yang penuh prasangka ini biasa diperoleh dalam pengasuhan dalam keluarganya dan diperkuat ketika mereka berada dalam lingkungan pertemanan yang kurang baik.
Lingkungan pergaulan para remaja juga berpengaruh terhadap kemungkinan terjadinya perundungan. Kelompok remaja yang kohesif, yang memiliki keeratan antara satu anggota dan anggota lainnya, lebih rentan melakukan perundungan ketika mereka memiliki objek sasaran yang tidak disukai oleh pemimpin geng tersebut.
Mereka yang ingin diterima dan diakui oleh kelompoknya membuat mereka mengikuti apa yang diperintahkan oleh pemimpinnya. Umumnya kelompok-kelompok tersebut lebih rentan melakukan pelanggaran-pelanggaran lain seperti merokok, bolos atau cabut dari sekolah. Akibatnya mereka memiliki prestasi akademik yang rendah.
Pola perpeloncoan dimana seorang senior mengharapkan perhatian dan penghormatan penuh dari juniornya merupakan hal yang sangat rentan terhadap terjadinya perundungan.
Editor : Vitrianda Hilba SiregarEditor Jakarta