Mukhlis menjelaskan bahwa TPPO merupakan fenomena gunung es yang hanya terlihat di permukaannya saja, sedangkan masalah sesungguhnya lebih besar dan tidak tidak terlihat di dasarnya.
"Korban paling banyak dari Tindak Pidana Perdagangan Orang terjadi pada kelompok rentan yaitu perempuan dan anak-anak. Saat ini, pengungsi Rohingya yang di tampung di BLK Lhoseumawe menjadi kelompok yang paling rentan menjadi korban TPPO. Untuk itu perlu Kerjasama dan koordinasi yang kuat dengan semua stakeholder," jelasnya.
"Tidak hanya pengungsi Rohingya yang beresiko menjadi korban TPPO, kita juga harus mencegah agar warga dan masyarakat Lhokseumawe tidak terjerat sebagai pelaku TPPO. Jadi kita perlu terus menerus memberikan edukasi dan sosialisasi terkait pencegahan TPPO. Jangan sampai niat baik masyarakat ingin menolong pengungsi Rohingya pada akhirnya menjadi tersangka pelaku perdagangan manusia," terang Mukhsil.
Dalam pelatihan yang digelar di hotel Singapore Lhokseumawe ini dihadiri oleh 20 peserta dari DP3A-P2KB Kota Lhokseumawe, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Lhokseumawe, Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe, Dinas Sosial Kota Lhokseumawe, UNHCR, PMI Kota Lhokseumawe, Yayasan Geutanyo, ACT, JRS, Puspelkessos, YKMI, Human Initiative.
Polres Lhokseumawe yang diwakili oleh Kadit Tipidum Reskrim, Ipda Bagus Ardiantoro mengungkapkan bahwa bentuk kejahatan TPPO ini selain eksploitasi seksual, penjualan organ tubuh manusia seperti hati dan jantung bisa mencapai 1,2 hingga 1,4 miliar rupiah.
"Untuk menjerat korbannya, para pelaku TPPO ini melakukan beberapa modus operandi seperti iming-iming gaji besar dan kehidupan yg layak," ungkapnya.
Editor : Ismail