Faisal bahkan menilai keberadaan program RJ ini juga akan memudahkan kerja kejaksaan. Sehingga kejaksaan bisa lebih fokus menangani perkara yang besar dengan kerugian yang besar juga.
"Saya memandangnya itu positif , sehingga juga tidak terlalu banyak kerjaan kejaksaan yang sebenarnya nilainya yang harus dikejar itu sedikit dalam artian penuntutan, sementara masih banyak lagi perkara-perkara yang memang besar dan itu terkadang-kadang terabaikan oleh kejaksaan,"terangnya.
Lanjut Faisal, yang menjadi persoalan adalah peningkatan sumber daya manusia. SDM di kejaksaan lanjutnya harus memahami betul program restorative justice ini. "Namun saya yakin dan percaya dewasa ini kejaksaan sudah mulai meningkatkan jauh sumber daya manusianya lebih baik, tinggal memahami apa sih penuntuan peghentian melalui RJ, saya pikir kejaksaan paham betul," katanya.
Paling penting sebut Faisal adalah pengawasan terhadap penerapan restoratif justice di tingkat kejaksaan negeri. Faisal menyebutkan jangan sampai program restorative justice ini menimbulkan pidana baru dan menjadi 'alat' baru bagi oknum tidak bertanggung jawab di kejaksaan untuk melakukan tindakan tidak terpuji.
"Harus diawasi dengan sungguh-sungguh. Jangan nanti ini dijadikan alat atau dijadikan modus baru menimbulkan pidana baru dalam artian memeras masyarakat dalam artian kalau seandainya mau kasusnya didamaikan, tidak dibawa ke pengadilan, ada gak kira-kira yang bisa diberikan atau lain sebagainya. Itu yang saya pikir yang sangat perlu pengawasan yang diperhatikan oleh Kejaksaan Agung kepada jaksa-jaksa yang menjalankan proses RJ ini," beber Faisal.
Namun kata Faisal, dia yakin dengan pedoman yang sudah dikeluarkan oleh Jaksa Agung terkait pemberian RJ ini, para jaksa bisa mempedomaninya. "Lagian kan sudah ada pedoman yang dikeluarkan, pedoman berdasarkan peraturan Kejaksaan Agung Tahun 2020 itu. Hal-hal itu yang seharusnya dipedomani,"tandas Faisal.
Kasi Penkum Kejati Sumut Yos Arnold Tarigan mengatakan tidak semua kasus bisa masuk dalam program restorative jusctice (RJ). Ada beberapa tahapan yang harus dilalui sesuai dengan pedoman Peraturan Jaksa Agung Nomor 15 tahun 2020 yaitu: tersangka baru pertama kali melakukan tindak pidana, jumlah kerugian akibat pencurian yang dilakukan di bawah Rp 2,5 juta, tuntutan di bawah lima tahun penjara, ada perdamaian antara tersangka dengan korban dan direspons positif keluarga.
"Tersangka juga menyesali dan mengakui perbuatannya serta berjanji tidak akan mengulanginya lagi. Untuk Sumut di 2021, ada 72 perkara yang dihentikan dengan keadilan restoratif dan di 2022, data terakhir sudah lebih dari 25-an perkara," sebut Yos.
Manfaat dari Penerapan keadilan restoratif (restorative justice) ternyata tidak hanya dirasakan oleh para pencari keadilan saja. Penyelesaian perkara di luar jalur hukum dengan mengedepankan mediasi ini juga dinilai bisa menjadi salah satu upaya mengurangi beban negara dan mengurai tingkat hunian penjara yang selama ini masih mengalami over kapasitas.
Sebagaimana diketahui, permasalahan over kapasitas ini menjadi permasalahan hampir seluruh lembaga pemasyarakatan (Lapas) dan rumah tahanan (Rutan) di Indonesia, termasuk di Sumatera Utara.
Editor : Odi Siregar
Artikel Terkait