Poin krusial dalam pernyataan tersebut mencakup penolakan terhadap intervensi birokratis yang melemahkan independensi pendidikan kedokteran, pemutusan hubungan tenaga pendidik dengan rumah sakit pendidikan, serta pengambilalihan fungsi kolegium dokter spesialis oleh pihak non-akademik.
Para Guru Besar menegaskan bahwa pendidikan kedokteran tidak bisa dipisahkan dari praktik klinis langsung di rumah sakit pendidikan, dan selama ini kolaborasi antara institusi pendidikan dan rumah sakit berjalan harmonis. Namun, kebijakan terkini justru berpotensi memutus kesinambungan tersebut tanpa pertimbangan akademis yang memadai.
"Ada ketimpangan peran yang makin tajam antara Kementerian Kesehatan dan institusi pendidikan tinggi. Prosesnya tidak transparan, dan keputusan diambil tanpa keterlibatan yang seharusnya," tegas Prof. Guslihan.
Narasi 'krisis dokter spesialis' yang selama ini digaungkan pemerintah juga dikritisi. Para Guru Besar menilai narasi tersebut kerap digunakan untuk mendorong percepatan produksi tenaga medis tanpa memperhatikan aspek kompetensi, etika, dan kualitas yang bersifat fundamental.
"Pendidikan kedokteran tidak bisa dipadatkan menjadi kebijakan jangka pendek. Ini menyangkut keselamatan manusia, bukan sekadar angka," imbuh Prof. Aldy.
Melalui forum USU BerSUARA, para Guru Besar menyerukan pentingnya ruang dialog yang sejati antara pemangku kebijakan dan komunitas akademik, berbasis data ilmiah dan prinsip kolaborasi lintas sektor. Mereka berharap Presiden Republik Indonesia turut membuka ruang komunikasi yang sehat, transparan, dan berorientasi pada penguatan sistem kesehatan nasional.
Sebagai bagian dari tanggung jawab moral dan akademik, FK USU tidak sekadar menjadi menara gading keilmuan, melainkan juga mercusuar nurani bangsa. Dalam semangat USU BerSUARA, para Guru Besar menegaskan komitmennya untuk terus menjaga kualitas pendidikan kedokteran, demi keselamatan dan masa depan kesehatan bangsa.
Editor : Jafar Sembiring
Artikel Terkait