Menurutnya, selama pandemi COVID-19, cakupan imunisasi rutin menurun karena orangtua enggan membawa anaknya ke posyandu. Akibatnya, banyak terjadi KLB penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I), termasuk KLB polio.
"Secara nasional, tercatat KLB polio terjadi di Aceh (3 kasus), Jawa Barat (1 kasus), Jawa Tengah (1 kasus), Jawa Timur (2 kasus), Papua (4 kasus), dan Banten (1 kasus). Oleh karena itu, kita perlu menguatkan imunisasi polio untuk mencegah penyakit polio yang dapat menyebabkan kelumpuhan permanen, termasuk penguatan imunisasi IPV," jelasnya.
Indonesia telah melaksanakan tahapan-tahapan seperti kampanye imunisasi tambahan polio (TOPV) nasional, penarikan vaksin OPV secara bertahap yang dimulai dengan penggantian dari trivalent oral polio vaccine (TOPV) menjadi bivalent oral polio vaccine (BOPV), dan introduksi satu dosis inactivated poliovirus vaccine (IPV) pada tahun 2016.
"Penarikan OPV secara bertahap dan penggantian TOPV ke BOPV serta introduksi IPV bertujuan untuk mencegah kasus circulating vaccine-derived polio viruses (CVDPV) dan vaccine-associated paralytic polio (VAPP) yang disebabkan oleh virus polio Sabin," paparnya.
WHO mencatat bahwa sejak 5-7 Oktober 2020, produksi IPV telah meningkat signifikan sehingga memungkinkan pelaksanaan introduksi IPV dosis kedua (IPV2) ke dalam jadwal imunisasi rutin di 94 negara yang saat ini menggunakan satu dosis IPV dan BOPV.
"Penambahan dosis kedua IPV akan meningkatkan perlindungan terhadap semua virus polio, termasuk perlindungan terhadap kelumpuhan yang disebabkan oleh VDPV2," urainya.
Berdasarkan rekomendasi WHO, maka dilaksanakan introduksi imunisasi IPV2 pada imunisasi rutin. Jadwal IPV yang dianjurkan pada imunisasi rutin adalah usia 4 bulan untuk IPV dosis pertama, bersamaan dengan vaksin DPT-HB-HIB3 dan OPV4.
"Sedangkan pemberian IPV2 diberikan pada usia 9 bulan bersamaan dengan imunisasi campak-rubela," paparnya.
Editor : Ismail
Artikel Terkait