Dia mengungkapkan ada 201 dari 448 Pertashop di Jateng dan DIY yang merugi. Pertashop yang tutup juga merasa terancam untuk disita asetnya karena tidak sanggup untuk angsuran bulanan ke bank yang bersangkutan.
Gunadi menyampaikan, adanya disparitas harga inililah yang kemudian dimanfaatkan oleh pihak lain. "Disini kami menyoroti penjualan Pertalite di pengecer atau Pertamini," ungkap Gunadi.
Dia menjelaskan, adanya Pertamini atau pengecer itu selain mengganggu bisnis Pertashop di desa-desa juga bisa mendapatkan margin yang lebih besar karena adanya diparitas harga yang bgitu tinggi.
"Berapa margin dari Pengecer? Bisa 2.000-2.500 per liter. sedangkan Pertashop yang legal marginnya cuma Rp850/liter," kata Gunadi.
Dia menuturkan, pengecer pun tidak punya kewajiban seperti layaknya lembaga penyalur yang legal seperti Pertashop, antara lain wajib membayar pajak. "Jadi dapat untung lebih kecil, tapi semua kewajiban resmi seperti pajak dan pungutan legal lain tetap jadi kewajiban kami," kata Gunadi.
Oleh karena itu, Gunadi meminta agar Revisi Perpres Nomor 191 Tahun 2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian, dan Harga Jual Eceran BBM dapat segera disahkan guna memantau penyaluran Pertalite di tingkat Pengecer atau Pertamini.
Menurut dia, hingga kini belum ada ketentuan mengenai pertalite ini secara lebih detail seperti solar. "Di Biosolar, sudah pasti di sana konsumennya siapa aja sudah tertata, tapi utk pertalite belum. Masih banyak yang sebenernya tidak menggunakan pertalite seperti plat merah, BUMN, BUMD, TNI/Polri, tapi tenyata masih menggunakan BBM jenis Pertalite," tutur Gunadi.
Artikel ini telah terbit di halaman iNews.id dengan judul Bisnis Pertashop Sekarat, Ini Tanggapan Pertamina Patra Niaga
Editor : Odi Siregar
Artikel Terkait