Kampung Restorative Justice Permudah Para Pencari Keadilan Menyelesaikan Perkara

MEDAN, iNews.id- Raut wajah bahagia terpancar dari wajah Gandaria Siringo-ringo saat menerima surat penghentian penuntutan perkaranya dari Kejari Samosir. Wanita berusia 96 tahun ini sebelumnya ditetapkan sebagai tersangka kasus penebangan pohon pisang dan kemiri milik tetangganya.
Dalam perkara itu, warga Desa Harian Kecamatan Onan Runggu Kabupaten Samosir itu dijerat dengan pasal 406 ayat (1) jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana.
Peristiwa ini bermula pada 24 Mei 2019, Gandaria menyuruh kedua anaknya menebang pohon tanaman pisang dan kemiri yang berada di ladang milik Leonardo Sitanggang. Tak terima, korban kemudian membuat laporan ke polisi.
Unsur pidana dalam laporan itu pun terpenuhi. Gandaria Bersama kedua anaknya kemudian ditetapkan sebagai tersangka.
Singkat cerita, oleh Kejari Samosir, perkara ini diajukan dalam program penuntutan berdasarkan restorative justice. Berbagai tahapan pun sudah dilakukan sebagaimana diatur dalam Perja No.15 Tahun 2020.
Setelah tahapan tersebut dilaksanakan telah pula dilaksanakan ekspose terhadap pimpinan JAM Pidum Kejagung dan Kajatisu secara online hingga mendapat persetujuan untuk penghentian penuntutan.
Akhirnya Nenek Gandaria Siringo-ringo bisa tersenyum bahagia. Kajari Samosir Andi Adikawira Putera, SH MH memimpin langsung untuk menyerahkan surat penghentian penuntutan kepada wanita itu.
Manfaat restorative juga dialami Ardena Rambe (20) warga Desa Lantasan Lama Dusun II, Kecamatan Patumbak, Deliserdang. Ardena ditetapkan sebagai tersangka kasus pencurian handphone.
Pencurian ini berawal pada Kamis, 2 Desember 2021 lalu, pelaku yang datang membeli rokok di warung korban, dengan sengaja mengambil handphone milik anak korban dan langsung pergi dari lokasi. Atas kejadian itu korban pun membuat laporan ke Polsek Namorambe.
Dia dibebaskan oleh Kejaksaan Negeri Deli Serdang Cabang Pancur Batu, pada Jum'at (28/1) melalui metode restorative justice. Pemilik handphone, Delina Sembiring pun sudah memaafkan pelaku.
Kepala Cabang Kejaksaan Negeri (Kacabjari) Deliserdang di Pancurbatu, M.Husairi menjelaskan alasan pihaknya membebaskan pelaku tanpa persidangan karena ternyata pelaku akan membeli beras dari hasil uang penjualan handphoene yang dicurinya.
"Dia mengaku uang hasil pencurian itu untuk beli beras," sebut Husairi.
Selain itu jumlah nominal kerugian di bawah 2,5 juta rupiah. Serta kedua belah pihak juga sudah berdamai. Ardena Rambe pun kini bisa berkumpul dengan keluarganya kembali.
Kisah Gandaria dan Ardena di atas hanya secuil cerita betapa sangat bermanfaatnya penerapan restorative justice untuk menciptakan penegakan hukum yang berkeadilan, terutama bagi masyarakat kecil.
Dengan manfaat restorative justice yang besar inilah, kemudian Kejaksaan Agung menggaungkan Program Kampung Keadilan Restoratif atau restorative justice (RJ).
Sebagaimana diketahui, saat ini Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara (Kejati Sumut) mengusulkan pembentukan Kampung Restorative Justice (RJ) di tiga kabupaten di Sumut.
Usulan yang disampaikan secara virtual oleh Kepala Kejaksaan Negeri Simalungun Bobbi Sandri, Kejaksaan Negeri Karo diwakili dan Padanglawas Utara yang masing-masing diwakili Kasi Pidum-nya di aula Kejati Sumut.
Dihadiri Kepala Kejati Sumut Idianto yang diwakili Wakil Kepala Kejati Sumut Edyward Kaban, Kasi Eksekusi dan Eksaminasi Yuliyati Ningsih serta para kepala seksi di Kejati Sumut.
Tiga usulan pembentukan Kampung RJ berasal dari Desa Sidotani, Kecamatan Bandar, Kabupaten Simalungun dengan nama Kampung RJ Desa Keluarga Damai.
Kemudian, Desa Purbasinomba, Kecamatan Padangbolak dengan nama Kampung RJ Huta Pardamean Adhyaksa dan Desa Ketaren, Kecamatan Kabanjahe, namanya Kampung RJ Pur-pur Sage.
Dekan Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU), Dr. Faisal, SH., M.Hum mengatakan program Kampung Keadilan Restoratif atau restorative justice (RJ) merupakan salah satu terobosan positif Kejaksaan Agung.
Kampung Keadilan Restoratif ini diyakini akan memudahkan para pencari keadilan untuk menyelesaikan perkaranya. Selain itu, keberadaan Kampung RJ juga akan memberikan pemahaman dan kejelasan hukum di tengah masyarakat.
"Saya pikir positif dengan adanya Kampung RJ ini untuk membantu masyarakat, memberi pemahaman kepada masyarakat dan memberikan kejelasan kepada masyarakat dan kemana masyarakat harus datang untuk proses jika persoalan ini bisa diselesaikan secara RJ. Ini merupakan terobosan positif Kejaksaan Agung," ucap Faisal, Kamis (14/4).
Tidak hanya itu, akademisi ini juga menyampaikan keberadaan Kampung Restorative Justice akan mempermudah kejaksaan dalam mewujudkan tujuan program restoratif justice yang saat ini tengah digaungkan oleh Kejaksaan Agung.
"Kampung Restorative Justice ini untuk mempermudah dalam mewujudkan tujuan restoratif justice sehingga nanti pencari keadilan atau pihak pelaku atau pun pihak korban itu bisa menuju ke RJ yang ada,"ujarnya.
Bahkan keberadaan Kampung Restorative Justice diyakini bisa meminimalisir oknum-oknum tidak bertanggung jawab yang mempermainkan program restoratife justice untuk kepentingan pribadi.
"Itu juga bisa meminimalisir permainan oknum-ouknun yang akan melakukan saya katakan tadi untuk bermain memilih-memilih siapa yang bisa di restorative justice kan kasusnya," sebut Faisal.
Harapannya kata Faisal, Kejaksaan Agung seharusnya memperbanyak Kampung RJ di Sumatera Utara. Hal ini mengingat banyaknya manfaat yang diberikan dari Kampung RJ ini. "Iya harapan kita diperbanyak, "pesannya.
Namun Faisal menegaskan yang paling penting saat ini adalah pengawasan terhadap petugas yang melakukan program restorative justice. Dia menyampaikan program restorative justice lahir berdasarkan Peraturan Jaksa Agung Nomor 15 Tahun 2020 tentang penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif. Program ini kata Faisal merupakan terobosan positif dari Jaksa Agung.
"Pertimbangan yang bisa saya tangkap di sini bahwa banyak proses perkara-perkara pidana yang itu semua bermuara ke pengadilan, padahal nilai perkara atau nilai kerugian itu bukanlah perkara yang besar. Ada contoh Bu Minah yang mencuri singkong, itu kan kalau dihukum pidana, memang benar dia harus dihukum pidana, diberikan sanksi. Namun kalau dengan pendekatan RJ, ini kan bisa dengan proses pemulihan, proses perkaranya tu bisa dengan perdamaian antara pelaku dengan korban," urai Faisal.
Faisal bahkan menilai keberadaan program RJ ini juga akan memudahkan kerja kejaksaan. Sehingga kejaksaan bisa lebih fokus menangani perkara yang besar dengan kerugian yang besar juga.
"Saya memandangnya itu positif , sehingga juga tidak terlalu banyak kerjaan kejaksaan yang sebenarnya nilainya yang harus dikejar itu sedikit dalam artian penuntutan, sementara masih banyak lagi perkara-perkara yang memang besar dan itu terkadang-kadang terabaikan oleh kejaksaan,"terangnya.
Lanjut Faisal, yang menjadi persoalan adalah peningkatan sumber daya manusia. SDM di kejaksaan lanjutnya harus memahami betul program restorative justice ini. "Namun saya yakin dan percaya dewasa ini kejaksaan sudah mulai meningkatkan jauh sumber daya manusianya lebih baik, tinggal memahami apa sih penuntuan peghentian melalui RJ, saya pikir kejaksaan paham betul," katanya.
Paling penting sebut Faisal adalah pengawasan terhadap penerapan restoratif justice di tingkat kejaksaan negeri. Faisal menyebutkan jangan sampai program restorative justice ini menimbulkan pidana baru dan menjadi 'alat' baru bagi oknum tidak bertanggung jawab di kejaksaan untuk melakukan tindakan tidak terpuji.
"Harus diawasi dengan sungguh-sungguh. Jangan nanti ini dijadikan alat atau dijadikan modus baru menimbulkan pidana baru dalam artian memeras masyarakat dalam artian kalau seandainya mau kasusnya didamaikan, tidak dibawa ke pengadilan, ada gak kira-kira yang bisa diberikan atau lain sebagainya. Itu yang saya pikir yang sangat perlu pengawasan yang diperhatikan oleh Kejaksaan Agung kepada jaksa-jaksa yang menjalankan proses RJ ini," beber Faisal.
Namun kata Faisal, dia yakin dengan pedoman yang sudah dikeluarkan oleh Jaksa Agung terkait pemberian RJ ini, para jaksa bisa mempedomaninya. "Lagian kan sudah ada pedoman yang dikeluarkan, pedoman berdasarkan peraturan Kejaksaan Agung Tahun 2020 itu. Hal-hal itu yang seharusnya dipedomani,"tandas Faisal.
Kasi Penkum Kejati Sumut Yos Arnold Tarigan mengatakan tidak semua kasus bisa masuk dalam program restorative jusctice (RJ). Ada beberapa tahapan yang harus dilalui sesuai dengan pedoman Peraturan Jaksa Agung Nomor 15 tahun 2020 yaitu: tersangka baru pertama kali melakukan tindak pidana, jumlah kerugian akibat pencurian yang dilakukan di bawah Rp 2,5 juta, tuntutan di bawah lima tahun penjara, ada perdamaian antara tersangka dengan korban dan direspons positif keluarga.
"Tersangka juga menyesali dan mengakui perbuatannya serta berjanji tidak akan mengulanginya lagi. Untuk Sumut di 2021, ada 72 perkara yang dihentikan dengan keadilan restoratif dan di 2022, data terakhir sudah lebih dari 25-an perkara," sebut Yos.
Manfaat dari Penerapan keadilan restoratif (restorative justice) ternyata tidak hanya dirasakan oleh para pencari keadilan saja. Penyelesaian perkara di luar jalur hukum dengan mengedepankan mediasi ini juga dinilai bisa menjadi salah satu upaya mengurangi beban negara dan mengurai tingkat hunian penjara yang selama ini masih mengalami over kapasitas.
Sebagaimana diketahui, permasalahan over kapasitas ini menjadi permasalahan hampir seluruh lembaga pemasyarakatan (Lapas) dan rumah tahanan (Rutan) di Indonesia, termasuk di Sumatera Utara.
Kepala Divisi Pemasyarakatan (Kadiv Pas) Kantor Kementerian Hukum dan Ham (Kemenkumham) Provinsi Sumatera Utara, Erwedi Supriyatno menjelaskan apabila pelaksanaan restorative justice ini dilakukan secara optimal di tiap daerah akan berpengaruh signifikan kepada over kapasitas.
“Jelas membantu. Saya yakin jika tiap daerah mengoptimalkan restorative justice berpentruh sangat signifikan kepada over kapasitas yang selama ini hamper terjadi di seluruh lembaga pemasyarakatan dan rumah tahanan di Sumatera Utara. Kami sangat mendukung sekali,”tegas Erwedi.
Di lingkungan Kementerian Hukum dan Ham kata Erwedi, program restorative justice ini merupakan salah satu target kinerja dari Direktorat Jendral (Ditjen) Pemasyarakatan. Meski belum menjadi pilot project pelaksanaan program restorative justice ini, namun Kanwil Kemenkumham Sumut lanjut Erwedi tetap berusaha mendorong aparat penegak hukum di Sumatera Utara agar bisa mengoptimalkan program tersebut.
“Kita mendorong aparat penegak hukum lain seperti kepolisian, kejaksaan dan pengadilan untuk bisa mengoptimalkan restoratve justice ini,” sebut mantan Kepala Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Dewasa Tanjung Gusta ini.
Secara pribadi, Erwedi mengaku terobosan kejaksaan agung ini sangat positf. Dia mecontohkan kasus seorang anak yang mengancam ayahnya di Sergai. Kasus ini akhirnya bisa diselesaikan lewat mekanisme restorative justice .
“Tentunya ini berdampak baik untuk kita semua. Sebenarnya itu itu kan gak perlu dipidana. Menambah biaya negara, pengeluaran negara. Sehingga Kita perlu mendorong aparat hukum polisi dan kejaksaan betul-betul megoptimalkan RJ di Sumatera Utara supaya over kapasitas lapas dan rutan itu bisa turun,” pinta Erwedi.
Semoga program restorative justice bersama dengan program Kampung Restorative Justice yang saat ini digaungkan oleh Kejaksaan Agung benar-benar bisa menjadi ujung tombak para pencari keadilan terkhusus bagi masyarakat kelas bawah. Sebab tidak semua perkara harus diselesaikan di meja persidangan.
Namun meski demikian, pengawasan oleh Kejaksaan Agung tetap dibutuhkan agar program ini berjalan lurus sebagaimana tujuan dari program restorative justice tersebut.
Editor : Odi Siregar