Perang dan Krisis Geopolitik, Ini Pengaruhnya terhadap Saham Global dan Domestik

MEDAN, iNews.id - Beberapa tahun terakhir, dunia dihadapkan pada berbagai konflik geopolitik yang mengubah peta perekonomian global. Mulai dari perang Israel – Iran yang tengah berlangsung, perang Rusia-Ukraina, ketegangan di Timur Tengah, hingga konflik di Asia Timur, semua turut memengaruhi pergerakan pasar modal.
Ketidakpastian yang muncul akibat konflik ini menjadi momok bagi para investor, baik institusi maupun ritel. Namun, di balik ketakutan, selalu ada peluang yang bisa dimanfaatkan jika kita memahami bagaimana jalur dampaknya terhadap pasar saham.
Pertama yang terjadi saat muncul kabar konflik atau perang adalah meningkatnya ketidakpastian. Psikologi pasar cenderung bereaksi negatif terhadap ketidakpastian. Banyak investor memilih menjual saham dan mengalihkan dana ke aset "safe haven" seperti emas atau obligasi pemerintah. Lonjakan harga emas pada awal perang Rusia-Ukraina adalah contoh nyata bagaimana investor mencari perlindungan.
Selain itu, investor global cenderung menarik modalnya dari pasar negara berkembang (emerging markets), termasuk Indonesia, untuk mengurangi risiko. Penarikan dana ini dikenal dengan istilah capital outflow, yang kemudian menekan nilai tukar mata uang lokal dan membuat volatilitas pasar semakin tinggi. Salah satu dampak langsung dari perang adalah fluktuasi harga komoditas global, khususnya minyak, gas, dan pangan. Misalnya, Rusia dan Ukraina merupakan eksportir gandum terbesar dunia. Konflik di wilayah tersebut sempat memicu lonjakan harga gandum global hingga puluhan persen. Kenaikan harga pangan dan energi kemudian mendorong inflasi di banyak negara.
Kepala Kantor Perwakilan PT Bursa Efek Indonesia (BEI) Sumatera Utara, Muhammad Pintor Nasution mengatakan, di Indonesia, saham-saham sektor energi (misalnya emiten batu bara atau minyak) bisa terdorong naik saat harga energi dunia melonjak.
"Akan tetapi, bagi sektor yang sangat bergantung pada bahan baku impor (seperti industri manufaktur), kenaikan harga komoditas justru bisa menjadi beban yang mengurangi profitabilitas. Saat konflik geopolitik meletus, investor global cenderung memilih mata uang yang lebih stabil seperti dolar AS. Akibatnya, mata uang negara berkembang, termasuk rupiah, sering kali tertekan. Depresiasi rupiah akan meningkatkan biaya impor, menaikkan beban utang perusahaan yang memiliki kewajiban dalam dolar, dan berpotensi menekan laba bersih emiten," katanya di Medan, Selasa (8/7/2024).
Pintor menjelaskan, bagi emiten yang memiliki pendapatan ekspor dalam dolar, pelemahan rupiah bisa menjadi keuntungan tambahan. Contohnya, perusahaan kelapa sawit atau nikel yang mengekspor produknya dalam dolar bisa mencatatkan keuntungan selisih kurs.
"Indeks saham suatu negara merupakan cerminan optimisme dan ekspektasi para investor terhadap kondisi ekonomi dan kinerja perusahaan-perusahaan besar di dalamnya. Saat terjadi perang, indeks saham di banyak negara cenderung jatuh karena dominasi aksi jual. Contohnya, pada awal perang Ukraina, banyak indeks utama dunia seperti S&P 500, FTSE 100, hingga Nikkei 225 mengalami koreksi cukup tajam," jelasnya.
Editor : Chris