Kala itu, sang Syekh menyitir sabda Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang berbunyi,
“Saudara ipar adalah (pembawa) kematian.” Seorang suami sudah pasti ingin beristirahat dengan nyaman bersama istrinya di rumah. Namun hal ini tidak dapat dicapai jika Hamad tinggal di rumah kami.”
Khalid kembali diam sambil meminum teh yang dibuatnya.
“Aku sudah menjelaskan kepada ayah dan ibu perihal ini berkali-kali disertai dalil dan logika yang kuat, dan aku bersumpah kepada mereka demi Allah Yang Mahakuasa bahwa aku sangat mengharapkan kebaikan bagi saudaraku Hamad. Sayangnya, ayah dan ibu menuduhku sebagai orang yang sakit hati, mereka mengatakan bahwa tidak mungkin Hamad mengganggu istriku karena dia telah mengganggapnya seperti kakak kandung sendiri. Lebih parah lagi ayah mengancamku jika aku tidak menerima permintaaannya, maka ayah dan ibu tidak mau mengenaliku lagi sampai mereka meninggal dunia.”
Khalid kembali terdiam. Ia menjadi serba salah atas situasi ini. “Menurutmu, apa solusi terbaik dari masalahku ini Saleh?”
“Aku tidak bermaksud mengajarimu atau pun mencampuri urusan keluargamu. Aku melihat dirimu adalah seorang paranoid dan skeptis; kalau tidak demikian, mengapa kamu menentang pendapat kedua orangtuamu? Lupakah kamu bahwa keridhaan Allah tergantung kepada keridhaan kedua orangtua, dan kemurkaan Allah juga tergantung kepada kemurkaan kedua orangtua seperti yang disebutkan dalam hadits Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam? Kenapa kamu berburuk sangka kepada saudaramu? Bukankah jika dia berada di rumah dapat membantu pekerjaanmu? Apakah kamu lupa dengan firman Allah Ta’ala yang berbunyi, “Wahai orang-orang yang beriman! Jauhilah banyak dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa.” (QS. Al Hujuraat: 12). Katakan sejujurnya Khalid, “Apakah kamu percaya kepada istrimu dan saudaramu?”
Editor : Vitrianda Hilba SiregarEditor Jakarta