Misi kenabian Muhammad dalam dimensi horizontal (sosial) berlaku dan diberlakukan bagi manusia. Mengapa? karena manusia adalah khalifatullah fi al ardli. Manusia adalah wakil Tuhan (pemimpin) di bumi. Sebagai pemimpin di bumi, maka ia harus merujuk dan menjadikan Muhammad sebagai actor based model (uswah). Pertanyaan selanjutnya, apakah manusia sebagai pemimpin di bumi telah bertindak adil, ataukah justru sebaliknya menjadi penguasa yang dzalim? dzalim kepada diri sendiri, dzalim kepada orang lain, kepada makhluk lain, ataupun dzalim kepada alam semesta beserta seluruh isinya?
Ajaran kenabian Muhammad adalah menjunjung tinggi keadilan, kesederajatan, persamaan ummat manusia dihadapan hukum (equality before the law), serta mengangkat hak-hak kaum mustad’afien, yakni kaum yang lemah dan dilemahkan. Kaum mustad’afien ini dapat diterjemahkan kaum fakir, miskin, anak yatim, orang terlantar, serta mereka yang ditindas dan tertindas baik oleh orang lain ataupun penguasa.
Prinsipnya, ajaran Muhammad menolak berbagai bentuk penindasan dan ketidak-adilan. Muhammad mengajarkan untuk berlaku adil kepada siapapun tanpa memandang suku, ras dan agama. Bahkan kepada orang yang dibenci sekalipun harus tetap berlaku adil.
Berangkat dari refleksi tersebut, Isra Mi’raj secara konotatif dapat ditafsirkan bahwa sebelum melakukan perjalanan ilahiah / kembali kepada Tuhan (inna lillahi wa inna ilaihi rojiun), maka manusia sebagai pemimpin di bumi, disyaratkan melakukan perjalanan kemanusiaan (muamalah). Oleh karenanya setiap jenazah muslim yang akan diberangkatkan ke kubur, terlebih dahulu dimintakan maaf dan diselesaikan tanggung jawab khaqqul adami-nya kepada manusia yang lain.
Manusia itu sendiri adalah makhluk yang lebih dinamis daripada malaikat. Ia bisa bertindak seperti malaikat, namun ia juga berpotensi melebihi iblis. Manusia sebagai pemimpin dapat berlaku seperti lirik lagunya Iwan Fals menjadi “manusia setengah dewa”, namun ia juga dapat berpotensi bertindak dzalim kepada sesama. Syahdan, pilihan-pilihan itu sepenuhnya menjadi otoritas diri kita. Yang perlu diingat, setiap kita memiliki peran sebagai khalifatullah fi al ardli sekaligus sebagai abdullah (hamba Tuhan).
Oleh:
Dr. Muhammad Chairul Huda, M.H.
Dosen IAIN Salatiga dan Wakil Ketua Lakpesdam NU Salatiga
Editor : Vitrianda Hilba SiregarEditor Jakarta