get app
inews
Aa Read Next : Sakit hanya 2 Kali Seumur Hidup, Begini Rahasia Kesehatan Nabi Muhammad SAW

Dimensi Kemanusiaan Isra Miraj

Senin, 21 Februari 2022 | 13:16 WIB
header img
Isra Miraj Nabi Muhammad SAW bagi umat Islam tidak berapa lama lagi akan memperingatinya. (Foto: Freepik)

ISRA Miraj Nabi Muhammad SAW  bagi umat Islam tidak berapa lama lagi akan memperingatinya. Kata isra berasal dari bahasa Arab “saro” yang dapat diterjemahkan “perjalanan malam”. Sementara miraj berasal dari kata dasar “aroja” yang berarti “ke atas”. 

Isra Miraj secara umum dapat ditafsirkan, diperjalankannya Nabi Muhammad oleh Allah SWT dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha. Dari Masjidil Aqsha lalu atas izin Allah SWT, Nabi Muhammad menuju Sidratul Muntaha. Peristiwa Isra Miraj diyakini terjadi pada 27 Rajab tahun 621 Masehi. Sekitar 1401 tahun silam.

 Dalam catatan sejarah, ketika Nabi Muhammad menjelaskan perjalanan Isra Miraj, banyak kalangan Quraisy yang meragukan kebenarannya. Secara rasio (akal), tidak mungkin dalam waktu semalam melakukan perjalanan panjang dari Masjidil Haram di Kota Mekah ke Masjidil Aqsa di Palestina yang berjarak lebih dari 1200 km. Ketika itu, belum ada tekhnologi pesawat terbang seperti saat ini.

Isra’ Mi’raj ini tidak hanya berada pada dimensi aqali (rasio). Menurut Ibnu Arabi seperti yang dijelaskan William Chittick (2010), sebuah peristiwa dapat dibagi dalam tiga kategori: (1) peristiwa aqali yang dapat dinalar melalui rasio atau akal; (2) peristiwa intuitif dari olah rasa atau batin; (3) peristiwa yang bersifat misteri (asrār). Isra Mi’raj berada pada wilayah asrar (misteri).

Peristiwa asrār ini secara tiba-tiba. Bisa melalui mimpi atau kejadian-kejadian unik lainnya. Sebut saja misalnya mimpi yang dialami Nabi Ibrahim ketika diperintahkan menyembelih putranya, Nabi Musa yang dapat membelah lautan, ataupun Nabi Ibrahim yang tidak mempan dibakar api yang besar.

Peristiwa Isra Miraj diyakini merupakan akhbar dan izin langsung dari Tuhan seperti yang dijelaskan dalam Al-Qur’an Surat al-Isra’ ayat 1. Ia adalah peristiwa yang khariqul adah (tidak lazim). Jika lazim, berarti bukan peristiwa kenabian yang disakralkan oleh ummatnya. Dalam bahasa Mircea Eliade (2002), sesuatu yang sakral adalah suci dan disucikan oleh orang yang meyakininya, sekaligus tidak mudah untuk dilupakan.

Apabila kita cermati, Isra mi’raj paling tidak mengandung dua dimensi perjalanan, yakni dimensi perjalanan horizontal dan perjalanan vertikal. Perjalanan horizontal adalah dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa. Sementara perjalanan vertikal dari Masjidil Aqsa menembus lapisan-lapisan langit hingga ke sidratul muntaha.

Perjalanan horizontal merupakan simbol perjalanan darat/bumi (ardli). Ia berada pada dimensi insaniah (kemanusiaan). Tafsir bebasnya, risalah kenabian Muhammad bertitik tolak dari pengangkatan martabat kemanusiaan. Pembebasan manusia dari perbudakan, pembebasan pembunuhan orang tua kepada anak perempuan, eksistensi hak waris bagi perempuan, dan persoalan-persoalan lain yang menjadi tradisi jahiliyah didekonstruksi oleh Muhammad.

Dalam dimensi horizontal ini pula, sebelum pengangkatan kenabian, Muhammad telah dijuluki “al-amin”. Orang yang terpercaya atas segala tutur kata, akhlak dan budi pekertinya. Ia mendapatkan pengakuan tersebut dari masyarakat Quraisy. Muhammad layaknya oase ditengah kemerosotan peradaban Quraisy ketika itu. Michael Hart menempatkan Muhammad pada peringkat pertama dalam bukunya “100 Tokoh Paling Berpengaruh Dalam Sejarah”.

Misi kenabian Muhammad dalam dimensi horizontal (sosial) berlaku dan diberlakukan bagi manusia. Mengapa? karena manusia adalah khalifatullah fi al ardli. Manusia adalah wakil Tuhan (pemimpin) di bumi. Sebagai pemimpin di bumi, maka ia harus merujuk dan menjadikan Muhammad sebagai actor based model (uswah). Pertanyaan selanjutnya, apakah manusia sebagai pemimpin di bumi telah bertindak adil, ataukah justru sebaliknya menjadi penguasa yang dzalim? dzalim kepada diri sendiri, dzalim kepada orang lain, kepada makhluk lain, ataupun dzalim kepada alam semesta beserta seluruh isinya?

Ajaran kenabian Muhammad adalah menjunjung tinggi keadilan, kesederajatan, persamaan ummat manusia dihadapan hukum (equality before the law), serta mengangkat hak-hak kaum mustad’afien, yakni kaum yang lemah dan dilemahkan. Kaum mustad’afien ini dapat diterjemahkan kaum fakir, miskin, anak yatim, orang terlantar, serta mereka yang ditindas dan tertindas baik oleh orang lain ataupun penguasa.

Prinsipnya, ajaran Muhammad menolak berbagai bentuk penindasan dan ketidak-adilan. Muhammad mengajarkan untuk berlaku adil kepada siapapun tanpa memandang suku, ras dan agama. Bahkan kepada orang yang dibenci sekalipun harus tetap berlaku adil.

Berangkat dari refleksi tersebut, Isra Mi’raj secara konotatif dapat ditafsirkan bahwa sebelum melakukan perjalanan ilahiah / kembali kepada Tuhan (inna lillahi wa inna ilaihi rojiun), maka manusia sebagai pemimpin di bumi, disyaratkan melakukan perjalanan kemanusiaan (muamalah). Oleh karenanya setiap jenazah muslim yang akan diberangkatkan ke kubur, terlebih dahulu dimintakan maaf dan diselesaikan tanggung jawab khaqqul adami-nya kepada manusia yang lain.

Manusia itu sendiri adalah makhluk yang lebih dinamis daripada malaikat. Ia bisa bertindak seperti malaikat, namun ia juga berpotensi melebihi iblis. Manusia sebagai pemimpin dapat berlaku seperti lirik lagunya Iwan Fals menjadi “manusia setengah dewa”, namun ia juga dapat berpotensi bertindak dzalim kepada sesama. Syahdan, pilihan-pilihan itu sepenuhnya menjadi otoritas diri kita. Yang perlu diingat, setiap kita memiliki peran sebagai khalifatullah fi al ardli sekaligus sebagai abdullah (hamba Tuhan).

Oleh:

Dr. Muhammad Chairul Huda, M.H. 

Dosen IAIN Salatiga dan Wakil Ketua Lakpesdam NU Salatiga

 

Editor : Vitrianda Hilba Siregar

Follow Berita iNews Medan di Google News Lihat Berita Lainnya
iNews.id
iNews Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik lebih lanjut