Ia menambahkan, jika melihat 275 personil di Satgassus yang dibentuk pada masa Kapolri Tito Karnavian melalui Sprint/68/6 Maret 2019, mereka menjadi kelompok elit dalam tubuh Polri hingga saat ini. Terkesan, sambung Sahat, Satgassus mengambil alih kerja - kerja penyidik.
"Satgassus jadi super power. Padahal dasar mereka semua bekerja adalah sama yakni UU Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian. Anehnya Komisi III DPR kenapa mendiamkan ini," ujarnya.
Dasar hukum pembentukan Satgassus mulai masa Kapolri Tito Karnavian, Idham Azis hingga Listyo Sigit Prabowo, sambung Sahat sebenarnya sudah tercantum dalam tugas pokok dan fungsi Polri dalam penyelidikan dan penyidikan.
"Jadi tugas penyidik di Polsek, Polres dan Polda tidak boleh direduksi oleh Satgassus dengan alasan kasus-kasus yang jadi atensi pimpinan. Mestinya dalam penanganan kasus besar atau perkara yang menarik perhatian publik yang dilakukan adalah supervisi penyidik Polsek, Polres dan Polda, bukan menarik perkaranya ke Satgassus. Coba perhatikan di media sosial, begitu peristiwa kematian Brigadir J dikaitkan-kaitkan netizen dengan judi online, polisi didaerah menyikat tempat judi online. Ternyata bisa kok," ujar Sahat.
Perhimpunan Pergerakan 98, sambung Sahat, berkepentingan menjaga Polri karena pemisahan Polri dari ABRI agar profesional sebagai penegak hukum dan tidak diintervensi kekuatan politik manapun adalah salah satu usulan para aktivis mahasiswa saat gerakan reformasi 1998.
"Kami akan menjaga Polri agar profesional dan tidak diintervensi kepentingan politik serta tetap menjaga jarak dengan kepentingan politik manapun," ujar Sahat.
Editor : Odi Siregar