Mengingat isu ini sangat penting dalam konteks melakukan terobosan hukum, lanjut Ketua Umum Pengurus Besar Perkumpulan Advokat Sumatera Utara (PB PASU), mendesak Mahkamah Agung untuk mencabut atau setidaknya meninjau ulang Perma RI No 4 Tahun 2020 tentang Administrasi dan Persidangan Perkara Pidana di pengadilan secara online.
Sebab, peraturan ini dinilai sudah tidak relevan lagi digunakan, mengingat sudah memasuki masa endemi.
"Dengan adanya peraturan ini, kami selaku penasehat hukum merasa kurang maksimal dalam membela klien kami," aku EPZA.
Dia juga mengatakan, jaringan kerap terputus ketika berlangsungnya proses persidangan.
"Faktanya, signal di masing-masing pengadilan berbeda-beda. Ada yang kuat dan ada yang lemah," sebut mantan Ketua Pemuda Muhammadiyah Medan ini.
Selain itu, lanjutnya, beberapa kebijakan berbeda-beda diantara Rumah Tahanan (Rutan). Ada yang membolehkan penasehat hukum datang ke Rutan untuk mendampingi terdakwa, tetapi ada juga yang hanya cukup melalui daring saja.
"Pendampingan secara daring tersebut juga tidak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam KUHAP," ujar EPZA, sembari menyatakan, dengan sidang onlien, terkadang majelis hakim tak mendengar secara jelas pembelaan dari terdakwa atau penasehat hukum.
"Karena jaringan yang lambat, terkadang majelis hakim hanya berdasarkan BAP saja, sudah langsung memutuskan perkara di persidangan. Kalau begini, kan bisa menganiaya terdakwa," tandas EPZA.
Editor : Ismail