Ditanya soal pekerjaan tetap, Chairil Anwar diam sejenak. Lalu dia menjawab bahwa gambaran kerja yang rutin masuk di pagi hari dan pulang siang hari, baginya pekerjaan yang tidak perlu dia lakukan.
“Ah, kerja yang itu tak usahlah!,” kata Chairil
“Kenapa tak usahlah? Semua orang bekerja semacam itu!”.
Chairil Anwar beralasan semua orang bekerja semacam itu. Kakeknya, bapaknya dan bahkan ayah Mirat juga disebutnya bekerja semacam itu. Karenanya Chairil berpendapat dirinya tak perlu melakukan hal yang sama.
“Kenapa tidak perlu? Memangnya apa, siapa anakda ini?,” kata ayah Mirat kembali.
“Karena sekali berarti, sesudah itu mati. Karena gambaran hidup seorang seniman adalah hidup yang melepas bebas!.
Chairil Anwar menoleh kepada Mirat yang duduk terpisah dari orang tua dan kakak-kakanya. Kepala gadis tambatan hatinya itu tertunduk. Chairil pun melanjutkan ucapannya yang langsung ditujukan kepada Mirat.
Chairil mengatakan dirinya dan Mirat merupakan anak dari sebuah zaman yang beda. Dan setiap seniman, kata Chairil sesungguhnya ditakdirkan harus seorang perintis jalan. “Kita tidak boleh lagi cuma jadi alat musik penghidupan seperti orang-orang tua kita. Kita pemain dari lagu penghidupan,” ucap Chairil.
Wajah orang tua dan saudara Mirat sontak tegang. Ucapan Chairil yang menyerupai orasi kebudayaan itu, tak bisa diterima. Kakak Mirat yang menjadi jaksa di Jakarta dikabari melalui sepucuk surat yang seketika itu turut naik pitam.
Ayah Mirat bersiteguh akan merestui hubungan Chairil dengan putrinya, asal penyair itu memiliki pekerjaan tetap. Chairil yang tak punya uang sepeserpun kembali ke Jakarta dengan uang saku dari ayah Mirat. Kopor berisi buku-buku dan berkas tulisan ditinggalnya. Chairil tidak pernah kembali lagi ke Paron, Jawa Timur.
Editor : Odi Siregar