get app
inews
Aa Text
Read Next : Bunda PAUD Kota Medan Kahiyang Ayu Terharu, Anak Spesial Bacakan Puisi Berjudul Bunda di GAS

Kisah Cinta Penyair Chairil Anwar yang Kandas Karena Tidak Ada Pekerjaan

Jum'at, 15 Juli 2022 | 10:32 WIB
header img
Chairil Anwar (foto: repro/ist dari Dolf Verspoor).

SURABAYA, iNews.id - Penyair legendaris Chairil Anwar merupakan sosok yang tak pandai menutupi perasaan kepada perempuan yang mampu melipat hatinya. Memang, Chairil Anwar dikenal ekspresionis dalam urusan asmara.

Kasmarannya diungkapkan tanpa rasa sungkan, baik dalam bentuk puisi maupun sikap langsung kepada sang kekasih.

Salah satunya saat Chairil Anwar mengejar-ngejar Sumirat atau Mirat, gadis asal Paron, Ngawi (dulu eks Karsidenan Madiun), Jawa Timur.  

Demi bertemu tambatan hati, penyair kelahiran Medan Sumatera Utara 26 Juli 1922 itu, nekat menyatroni Paron yang jaraknya dari Jakarta tergolong jauh. Kedatangan Chairil diterima keluarga Mirat dengan tangan terbuka.

Namun keluarga itu agak terkejut begitu tahu isi kopor yang ditenteng Chairil dari Jakarta. Isinya hanya buku-buku dan selembar handuk kecil yang sudah lusuh. "Baju pun cuma yang melekat di badan yang dibawanya," kata RM Djojosepoetro ayah Mirat seperti dikutip dari buku Aku, Berdasarkan Perjalanan Hidup dan Karya Penyair Chairil Anwar (1987).

Chairil bertemu Mirat di Pantai Cilincing, Jakarta pada tahun 1943, sebuah tempat tamasya kala itu. Chairil dan Mirat lantas berpacaran. Keduanya kerap menonton film berdua. 

Chairil seorang penyair, sedangkan Mirat gemar melukis di sanggar S Sudjojono, Affandi dan Basuki Abdullah, yakni para perupa kawan dekat Chairil Anwar. Singkat kata, keduanya memiliki hobi sama.

Di rumah Mirat yang berada di Kebon Sirih Jakarta, Chairil kerap bertandang. Mirat yang selalu ingin mendalami karya Chairil Anwar, tidak pernah alpa membincang karya-karya sang kekasih. 

Saat Mirat pulang kampung ke Paron, Jawa Timur, Chairil Anwar menyusul, dan sempat tinggal beberapa hari. Di suatu malam, saat seluruh keluarga besar Mirat berkumpul, ayah Mirat menanyai Chairil.

“Masih akan berapa lama lagi kau di sini Nak?”

“Saya masih senang di sini”

“Apa kau tidak bersekolah lagi?”

“Ada sekolah apa rupanya di jaman edan seperti sekarang ini?”

“Atau bekerja, barangkali?”

“Bekerja? Ya, tiap hari, tiap detik saya bekerja”

“Di mana?”

“Di mana-mana!”

“Yang tetap?”

Ditanya soal pekerjaan tetap, Chairil Anwar diam sejenak. Lalu dia menjawab bahwa gambaran kerja yang rutin masuk di pagi hari dan pulang siang hari, baginya pekerjaan yang tidak perlu dia lakukan.

“Ah, kerja yang itu tak usahlah!,” kata Chairil

“Kenapa tak usahlah? Semua orang bekerja semacam itu!”.

Chairil Anwar beralasan semua orang bekerja semacam itu. Kakeknya, bapaknya dan bahkan ayah Mirat juga disebutnya bekerja semacam itu. Karenanya Chairil berpendapat dirinya tak perlu melakukan hal yang sama.

“Kenapa tidak perlu? Memangnya apa, siapa anakda ini?,” kata ayah Mirat kembali.

“Karena sekali berarti, sesudah itu mati. Karena gambaran hidup seorang seniman adalah hidup yang melepas bebas!.

Chairil Anwar menoleh kepada Mirat yang duduk terpisah dari orang tua dan kakak-kakanya. Kepala gadis tambatan hatinya itu tertunduk. Chairil pun melanjutkan ucapannya yang langsung ditujukan kepada Mirat.

Chairil mengatakan dirinya dan Mirat merupakan anak dari sebuah zaman yang beda. Dan setiap seniman, kata Chairil sesungguhnya ditakdirkan harus seorang perintis jalan. “Kita tidak boleh lagi cuma jadi alat musik penghidupan seperti orang-orang tua kita. Kita pemain dari lagu penghidupan,” ucap Chairil.

Wajah orang tua dan saudara Mirat sontak tegang. Ucapan Chairil yang menyerupai orasi kebudayaan itu, tak bisa diterima. Kakak Mirat yang menjadi jaksa di Jakarta dikabari melalui sepucuk surat yang seketika itu turut naik pitam.

Ayah Mirat bersiteguh akan merestui hubungan Chairil dengan putrinya, asal penyair itu memiliki pekerjaan tetap. Chairil yang tak punya uang sepeserpun kembali ke Jakarta dengan uang saku dari ayah Mirat. Kopor berisi buku-buku dan berkas tulisan ditinggalnya. Chairil tidak pernah kembali lagi ke Paron, Jawa Timur.

Cinta Chairil Anwar kepada Mirat begitu dalam. Saking membekasnya, untuk mengenang kisah asmaranya dengan Mirat, pada tahun 1949 Chairil membuat puisi berjudul : Mirat Muda, Chairil Muda dengan tambahan judul Di pegunungan 1943.

Kendati demikian, dalam perjalanan hidupnya, Chairil Anwar yang berjiwa bebas merdeka juga pernah jatuh hati dengan Karinah Moorjono, Dien Tamaela, Gadis Rasjid, Sri Ayati, Tuti Artic dan Ida Nasution. Namun ia menikah dengan Hapsah Wiriaredja pada 6 September 1946 dan dikarunia seorang putri bernama Evawani.

Chairil yang pernah mengungkapkan dalam puisinya, ingin hidup seribu tahun lagi dan kalau berumur panjang akan menjadi menteri pendidikan dan kebudayaan, akhirnya takluk oleh penyakit paru-paru yang diderita. 

Pada 28 April 1949, di usia yang masih 27 tahun itu, Chairil Anwar wafat. Penyair legendaris Indonesia itu dimakamkan di Pemakaman Umum Karet, Jakarta.

Editor : Odi Siregar

Follow Whatsapp Channel iNews untuk update berita terbaru setiap hari! Follow
Lihat Berita Lainnya
iNews.id
iNews Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik lebih lanjut