Walaupun Jokowi sudah menegur menterinya agar tidak bicara mengenai penundaan Pemilu, sambung jurnalis Tempo ini, tapi publik terlanjur kecewa melihat manuver para menteri ditengah harga minyak goreng yang mencekik leher rakyat. Selain itu, Jokowi juga dianggap tidak tegas menyudahi perdebatan usulan penundaan Pemilu dan presiden 3 periode.
"Jadi jangan dibolak - balik seolah - olah yang menggoreng isu penundaan Pemilu, perpanjangan masa jabatan presiden hingga amendemen masa jabatan presiden jadi 3 periode adalah rakyat. Semua wacana atau isu itu datang dari ketua umum parpol pendukung pemerintah dan para menteri, rakyat hanya merespons dengan sikap masing - masing," ujarnya.
Saat ini, Sahat menilai, rakyat berada di tengah pertarungan antara demokrasi dan oligarki. Yang dipertaruhkan, kata dia, adalah seperti apa anak dan cucu kita kedepan dalam hal kebebasan dan persamaan hak dalam segala hal. Jika karena ingin meneruskan kekuasaan yang tanpa batas seperti masa Orde Baru, maka pemegang kekuasaan partai dan oligarki akan membuat keputusan merubah atau mengamandeman masa jabatan presiden yang sejak era reformasi dibatasi hanya 2 periode.
"Dan jika hal itu terjadi, demokrasi melalui jalan Pemilu dan Pilpres langsung akan terancam jika amandamen UUD 1945 berhasil dilakukan. Nasib Indonesia akan seperti Rusia yang dipimpin oligarki. Mereka tidak terlihat diktator, bahkan terlihat akrab dengan rakyatnya, tapi sesuguhnya negara dipimpin oleh seorang presiden boneka yang dikendalikan sekelompok pengusaha yang sedang berkuasa. Ini lebih berbahaya dibanding kepemimpinan absolut Orde Baru," ujar Sahat.
Editor : Odi Siregar
Artikel Terkait