Taruna menambahkan pengendalian yang dikembangkan akan segera direspons dengan mekanisme adaptasi baru, menciptakan perlombaan evolusioner yang berkelanjutan antara manusia dan mikroorganisme.
Ia mengatakan pentingnya memahami resistensi antimikroba tidak dapat dilebih-lebihkan. Ini bukan sekadar fenomena medis, melainkan tantangan multidisipliner yang memerlukan kerja sama lintas bidang dari mikrobiologi, kedokteran, farmakologi, hingga kebijakan kesehatan publik.
Setiap intervensi harus mempertimbangkan kompleksitas biologis, sosial, dan ekologis yang terlibat dalam proses ini. Kesadaran global terhadap resistensi antimikroba terus meningkat. Organisasi internasional, pemerintah nasional, institusi penelitian, dan komunitas medis semakin memahami bahwa penanganan resistensi antimikroba memerlukan pendekatan komprehensif, proaktif, dan berkelanjutan.
Strategi yang efektif, kata dia, tidak hanya bergantung pada pengembangan antimikroba baru, tetapi juga pada manajemen penggunaan yang bijak, peningkatan praktik pencegahan infeksi, dan edukasi komprehensif.
Di Indonesia sendiri, tambah Taruna, resistensi antimikroba memiliki dimensi kompleks yang dipengaruhi oleh faktor geografis, demografis, dan sistem kesehatan. Sebagai negara dengan keragaman ekologis dan praktik kesehatan yang beragam, Indonesia menghadapi tantangan unik dalam mengendalikan penyebaran mikroorganisme resisten.
“Dibutuhkan strategi nasional yang adaptif, berbasis riset, dan mempertimbangkan konteks lokal,” katanya.
Dampak Global
Taruna Ikrar menegaskan resistensi antimikroba telah berkembang menjadi krisis kesehatan global yang mengancam fundamental sistem pelayanan kesehatan di seluruh dunia.
Fenomena ini tidak hanya memengaruhi kemampuan medis dalam menangani penyakit menular, tetapi juga mengancam seluruh arsitektur kemajuan pengobatan yang telah dibangun selama satu abad terakhir.
Menurut Taruna, dampak ekonomi dari resistensi antimikroba sangatlah signifikan dan berpotensi menimbulkan krisis global. Bank Dunia memperkirakan bahwa pada tahun 2050, kerugian ekonomi global akibat resistensi antimikroba dapat mencapai 100 triliun dolar. Angka ini setara dengan hilangnya sekitar 3,8% dari produk domestik bruto global.
“Negara-negara berkembang akan paling parah terkena dampaknya, dengan potensi jatuhnya jutaan penduduk ke dalam lingkaran kemiskinan akibat biaya pengobatan yang membengkak dan hilangnya produktivitas tenaga kerja,” katanya.
Aspek kesehatan masyarakat dari resistensi, antimikroba jauh lebih kompleks daripada sekadar statistik. Setiap kali satu spesies mikroba menjadi resisten terhadap pengobatan, ia tidak hanya mengancam individu yang terinfeksi, tetapi juga menciptakan reservoir genetik potensi bahaya bagi seluruh populasi.
Rumah sakit dan fasilitas Kesehatan, kata Taruna juga akan dipaksa harus mengembangkan protokol pengobatan alternatif yang jauh lebih mahal dan kompleks.
Prosedur medis yang saat ini dianggap rutin-seperti operasi caesar, penggantian sendi, atau kemoterapi akan menjadi prosedur berisiko tinggi dengan potensi komplikasi infeksi yang signifikan.
Proyeksi World Health Organization (WHO), kata dia, menuntut perhatian sangatlah mengejutkan dan menyeluruh. Pada tahun 2050, diperkirakan 10 juta nyawa akan hilang setiap tahun akibat infeksi resisten-angka yang melampaui kematian akibat kanker.
Menurut dia, Ini bukan sekadar prediksi statistik, melainkan peringatan keras tentang potensi keruntuhan sistem keschatan global. Setiap tahun penundaan penanganan serius akan semakin memperbesar risiko bencana kesehatan global.
Respon internasional menjadi kunci dalam mengatasi krisis resistensi antimikroba. Dibutuhkan kolaborasi lintas negara, lintas sektor, dan lintas disiplin ilmu. Tidak hanya diperlukan riset pengembangan obat baru, tetapi juga transformasi menyeluruh dalam praktik penggunaan antimikroba di bidang kesehatan, pertanian, dan peternakan. Setiap negara, institusi, dan individu memiliki peran strategis dalam mencegah eskalasi krisis ini.
Tentang Taruna Ikrar
Prof. dr. Taruna Ikrar, M.D., M.Biomed, Ph.D adalah salah satu ilmuwan dunia yang dimiliki Indonesia merupakan ahli farmakologi, ilmuwan kardiovaskular, dan pakar neurosains terkemuka Indonesia yang saat ini menjabat sebagai Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Republik Indonesia sejak Agustus 2024. Perjalanan pendidikannya dimulai dengan meraih gelar dokter dari Universitas Hasanuddin pada tahun 1997, kemudian melanjutkan pendidikan Magister Biomedik dengan spesialisasi Farmakologi di Universitas Indonesia yang diselesaikan pada tahun 2003.
Prestasi akademik mantan Ketua Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Makassar ini berlanjut dengan meraih gelar Ph.D. dalam bidang Kardiofarmakologi dari Niigata University, Jepang pada tahun 2008.
Pengalaman penelitian dan akademiknya sangat beragam dan mengesankan. Setelah menyelesaikan Ph.D., Taruna melanjutkan program post-doctoral di University of California, Irvine (2008-2013) dengan fokus pada neurofarmakologi dan pengembangan obat.
Karier akademiknya terus berkembang dengan menjadi Research Scholar di Harvard University pada tahun 2014. Kiprah internasionalnya diperkuat dengan berbagai posisi pengajar di institusi bergengsi, termasuk menjadi profesor di Pacific Health Sciences University dan akademik spesialis di University of California, Irvine.
Dalam ranah kepemimpinan profesional, Prof Taruna Ikrar telah menduduki berbagai posisi strategis. Ia juga pernah menjabat sebagai Ketua Konsil Kedokteran Indonesia (2020-2024) dan dipercaya sebagai Direktur Konsil Kedokteran Internasional (IAMRA) untuk periode 2021-2025.
Pengalamannya di bidang kesehatan militer juga tercermin dari posisinya sebagai Penasehat di The Indonesia Army Medical Sciences Institute (THIAMSI) dan sebagai Staf Ahli di Rumah Sakit Kepresidenan RSPAD Gatot Subroto. Semenjak 2023 diangkat sebagai Adjunct Prefesor di Universitas Pertahanan RI.
Kontribusi Prof Taruna Ikrar dalam dunia penelitian sangat signifikan dengan lebih dari 100 publikasi ilmiah yang telah dihasilkan.
Karya-karyanya mencakup berbagai topik penting Dalam bidang farmakologi, kardiovaskular, neurosains, elektrofisiologi, genetika, dan terapi sel punca.
Beberapa penelitiannya telah dipublikasikan di jurnal-jurnal internasional terkemuka dan telah banyak dikutip oleh peneliti lain di seluruh dunia. Bahkan karyanya beberapa kali dimuat di jurnal NATURE.
Taruna juga telah menulis beberapa buku teks penting dalam bidang kedokteran dan neurosains. secara keseluruhan, penelitian dan jurnal yang telah dilakukan dan yang telah terindeks telah disitasi sebanyak 1.763 melalui Scopus dan Google Scholar.
Sedangkan H-Index Taruna yang tertera pada laman Sinta Kemendikbud menunjukkan angka 17 dari Scopus dan 24 dari Google Scholar. H-Index itu sendiri merupakan indeks yang mengukur produktivitas dan dampak dari karya atau hasil penelitian seorang ilmuwan.
Atas dedikasi dan kontribusinya yang luar bias aitu, Prof Taruna Ikrar telah menerima berbagai penghargaan bergengsi, termasuk predikat Outstanding Scientist dari Pemerintah Amerika Serikat pada tahun 2014 dan UKP-Presidential Award untuk kategori Innovator and Scientist pada tahun 2017.
Taruna juga aktif dalam berbagai organisasi profesional internasional dan terus memberikan kontribusi signifikan dalam pengembangan ilmu kedokteran dan farmakologi di Indonesia maupun secara global. Di antaranya pernah menjadi Ketua Konsil Kedokteran Indonesia dan Direktur International Association of Medical Regulatory Authorities (IAMRA) atau Ketua Konsil Kedokteran Dunia hingga saat ini.
Keahliannya yang komprehensif dan kepemimpinannya yang kuat menjadikannya salah satu tokoh penting dalam kemajuan ilmu kedokteran dan farmasi di Indonesia. Buah pernikahannya dengan Elfi Wardaningsih, rekan sesama dokter yang kebetulan bertemu di perpustakaan Universitas Indonesia, Taruna telah dikaruniai tiga anak, yaitu Aqilla Safazia Ikrar dan Athallah Razandhia Ikrar, serta Alaric Khalifah.
Editor : Odi Siregar
Artikel Terkait