MEDAN, iNewsMedan.id – Resistensi antimikroba (AMR) kini menjadi salah satu ancaman paling serius bagi kesehatan manusia dan hewan. Jika tidak dikendalikan, kondisi ini diperkirakan akan menewaskan lebih banyak orang dibandingkan kanker pada tahun 2050. Penyebab utamanya adalah penggunaan antibiotik yang tidak tepat, baik di sektor medis maupun peternakan.
“Ketika bakteri menjadi resisten terhadap antibiotik, maka ke depannya bakteri ini akan menjadi kebal dan tidak akan mati oleh antibiotik. Ini adalah ancaman nyata dalam dunia kesehatan,” kata dr Harry Parathon dalam Seminar Jurnalisme Sains untuk Mitigasi Resistensi Antimikroba (AMR) yang digelar Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Medan bersama World Organisation for Animal Health (WOAH) di Medan beberapa waktu lalu.
Harry menjelaskan, antibiotik memang berfungsi membunuh bakteri penyebab infeksi, namun tidak semua penyakit membutuhkan antibiotik. Sayangnya, pemahaman ini belum tersebar luas di masyarakat. “Tidak semua penanganan medis ataupun penyembuhan penyakit harus menggunakan antibiotik. Dan jika harus menggunakannya, maka dokter yang meresepkannya sesuai takaran agar tepat sasaran,” tegasnya.
Ia mengungkapkan, penggunaan antibiotik secara sembarangan tanpa resep menjadi pemicu utama resistensi. “Dari hasil penelitian di Indonesia, tingkat penggunaan antibiotik yang tidak sesuai dengan kebutuhan masih sangat tinggi. Termasuk pada penyakit yang seharusnya tidak membutuhkan antibiotik. Ini yang perlu keterlibatan dari semua pihak untuk menyadarkan masyarakat,” kata Harry. Dampaknya bukan hanya pada kualitas hidup pasien, tetapi juga pada biaya dan risiko kematian. “Audit nasional menunjukkan bahwa 77 persen resep antibiotik di Indonesia tidak sesuai dengan pedoman. Resistensi terhadap bakteri seperti E. coli dan Klebsiella pneumoniae semakin tinggi. Pasien jadi menghabiskan biaya lebih besar dan punya risiko kematian lebih tinggi,” ujarnya.
Guillaume Maltaverne dari World Organisation for Animal Health (WOAH) menyebut AMR sebagai “pandemi senyap” yang berpotensi lebih mematikan dibanding kanker. “AMR adalah pandemi senyap. Jika tidak ditangani serius, diperkirakan akan menyebabkan lebih banyak kematian dibandingkan kanker pada 2050,” ujarnya dalam paparan. Menurut Guillaume, komunikasi risiko harus menjadi bagian utama dari strategi mitigasi AMR. Edukasi publik tidak bisa hanya mengandalkan tenaga kesehatan, tapi juga harus melibatkan berbagai sektor lain seperti peternakan, lingkungan, dan media.
Editor : Ismail
Artikel Terkait