Ilmuwan Ingatkan Ancaman Silent Pandemic Akibat Resistensi Antimikroba

Jafar
Ilmuwan Ingatkan Ancaman Silent Pandemic Akibat Resistensi Antimikroba. Foto: Istimewa

MEDAN, iNewsMedan.id - Silent pandemic atau resistensi antibiotik pada tubuh seseorang yang diakibatkan oleh antimikroba menjadi ancaman serius dunia. Resistensi antimikroba kini menjadi fenomena biologis kompleks yang mengancam kemampuan manusia dalam mengendalikan mikroorganisme berbahaya.

Ancaman ini disampaikan ilmuan Prof dr Taruna Ikrar, PhD, M.Biomed saat menyampaikan orasi ilmiah di Ballroom Universitas Prima Indonesia (Unpri) Medan, Sumatera Utara, Sabtu (4/1/2024).

Orasi ilmiah Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) RI ini dirangkaikan dengan penganugerahan gelar ilmuwan berpengaruh di Indonesia dari Universitas Prima Medan. Penghargaan diserahkan langsung  Rektor Prof Dr Crismis Novalinda Ginting, M.Kes.

Pemberian penghargaan ini juga dihadiri Menteri Hukum, Dr Supratman Agtas, sejumlah rektor, Pj Gubernur Sumatera Utara dan beberapa tamu undangan lainnya.

Taruna Ikrar mengatakan resistensi antimikroba sendiri terjadi ketika mikroorganisme seperti bakteri, virus, jamur, dan parasit mengembangkan kemampuan untuk bertahan hidup dan berkembang bahkan di bawah paparan obat antimikroba yang sebelumnya efektif membunuh mereka.

Taruna menambahkan fenomena resistensi antimikroba tidak dapat dipandang sebagai kejadian yang terisolasi, melainkan sebagai proses evolusioner kompleks yang melibatkan seleksi alam dan adaptasi genetik.

"Setiap kali mikroorganisme terpapar agen antimikroba, terjadi seleksi ketat di mana organisme yang memiliki keunggulan genetik untuk bertahan akan melangsungkan kehidupan dan reproduksi,” kata alumni Fakultas Kedokteran Unhas itu.

Taruna mencontohkan bakteri dapat mengalami mutasi genetik dalam hitungan menit, memungkinkan mereka secara cepat mengembangkan mekanisme pertahanan melawan zat antimikroba yang semula efektif membunuh mereka. Spektrum mikroorganisme, kata dia yang berpotensi menjadi resisten sangatlah luas. Selain bakteri juga ada virus, jamur, dan parasit.

“Setiap kelompok memiliki karakteristik unik dalam menghadapi tantangan antimikroba. Bakteri merupakan contoh paling nyata, dengan kemampuan horizontal gene transfer yang memungkinkan mereka berbagi informasi genetik resistensi antarspesies,” katanya.

Fenomena ini memungkinkan penyebaran cepat kemampuan bertahan melawan antimikroba. Bahkan di antara bakteri yang secara taksonomi berbeda. Menurut dia, proses ini merupakan manifestasi nyata dari evolusi biologis, di mana organisme secara genetis beradaptasi untuk bertahan hidup menghadapi tantangan lingkungan dalam antimikroba.

Konsep resistensi antimikroba, kata Taruna bermula dari pemahaman dasar interaksi antara mikroorganisme dan zat antimikroba. Ketika suatu antibiotik diperkenalkan, pada awalnya obat tersebut mampu membunuh atau menghambat pertumbuhan mayoritas populasi mikroba. Namun, di antara populasi tersebut, terdapat beberapa individu yang memiliki variasi genetik unik yang memungkinkan mereka bertahan.

Mikroba-mikroba yang memiliki gen resistensi ini tidak hanya mampu bertahan, tetapi juga berkembang biak, menciptakan generasi baru yang secara genetis lebih tahan terhadap antimikroba.

Mekanisme terjadinya resistensi, kata Taruna sangatlah beragam dan canggih. Bakteri, misalnya, dapat mengembangkan resistensi melalui beberapa strategi genetik. Pertama, mereka dapat memodifikasi struktur molekul yang menjadi target obat, sehingga antimikroba tidak lagi mampu berikatan atau mengganggu fungsi sel bakteri.

Kedua, bakteri dapat mengembangkan enzim yang ampu merusak atau memodifikasi struktur molekul obat sebelum obat tersebut dapat memberikan efek.

Ketiga, mereka dapat mengembangkan pompa efluks, yaitu mekanisme yang secara aktif mengeluarkan molekul obat dari dalam sel sebelum obat dapat memberikan efek terapeutik.

Mantan Spesialis Laboratorium di Departemen Anatomi dan Neurobiologi Universitas California ini membeberkan sejak penemuan antibiotik pertama oleh Alexander Fleming pada tahun 1928, umat manusia telah mengalami revolusi dalam kemampuan mengatasi penyakit infeksius.

Namun, Dalam waktu, mikroorganisme telah perjalanan mengembangkan mekanisme pertahanan yang canggih, membuat tantangan pengobatan semakin rumit dan memerlukan pendekatan strategis yang berkelanjutan.

Meskipun awalnya dianggap sebagai terobosan medis yang revolusioner, dalam waktu singkat bakteri Staphylococcus aureus telah menunjukkan resistensi terhadap penisilin. Pada dekade 1940-an dan 1950-an, penggunaan antibiotik secara massif dalam bidang kedokteran dan peternakan semakin massif.

Salah satu tonggak penting dalam pemahaman resistensi antimikroba, kata Taruna terjadi pada tahun 1962, ketika para ilmuwan mulai memahami mekanisme transfer gen resistensi antarbakteri melalui plasmid.

Mekanisme ini memungkinkan mikroba untuk saling berbagi informasi genetik yang memungkinkan mereka bertahan dari serangan antimikroba, bahkan lintas spesies.

Hal ini semakin memperkompleks dinamika penyebaran resistensi.

Pada akhir abad ke-20 dan awal abad ke-21, resistensi antimikroba berkembang menjadi ancaman global. Munculnya Multi-Drug Resistant (MDR) strain, seperti Methicillin-Resistant Staphylococcus Aureus (MRSA) dan kuman tuberculosis resisten obat, menjadi bukti nyata bahwa telah mengembangkan mikroorganisme mekanisme pertahanan yang sangat canggih. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mulai mengkategorikan resistensi antimikroba sebagai salah satu kesehatan global terbesar, mengingat potensinya mengacaukan sistem pengobatan modern. 

Faktor Pendorong Resistensi 

Menurut Taruna Ikrar, penggunaan antibiotik yang tidak rasional, baik dalam bidang kesehatan manusia maupun peternakan, menjadi pendorong utama. Ketika  antibiotik digunakan secara berlebihan atau tidak tepat, hal ini menciptakan tekanan seleksi yang kuat bagi mikroorganisme untuk beradaptasi dan berkembang. Selain itu, globalisasi, perpindahan penduduk, dan perdagangan global semakin mempercepat penyebaran strain resisten lintas wilayah dan benua.

Taruna menambahkan resistensi antimikroba tidak hanya sekadar tantangan medis, tetapi juga merupakan persoalan kompleks yang melibatkan berbagai disiplin ilmu. Ia membutuhkan pendekatan multidisipliner yang melibatkan mikrobiologi, genetika, epidemiologi, kebijakan kesehatan, dan kesadaran masyarakat.

Upaya mengatasi resistensi antimikroba memerlukan strategi komprehensif yang tidak hanya berfokus pada pengembangan obat baru, tetapi juga pada perubahan perilaku dan sistem.

Di masa depan,  kata Taruna, penelitian di bidang resistensi antimikroba akan semakin difokuskan pada pendekatan inovatif. Terapi fago, terapi menggunakan bakteriofage yang dapat membunuh bakteri secara spesifik, menjadi salah satu alternatif yang menjanjikan.

Faktor antropogenik memainkan peran krusial dalam akselerasi resistensi antimikroba. Penggunaan antibiotik yang tidak rasional di bidang kesehatan manusia, peternakan, dan pertanian telah menciptakan tekanan yang mendorong evolusi percepatan mikroorganisme.

“Pemberian antibiotik dalam dosis sub-terapi, praktik pengobatan mandiri, serta penggunaan antibiotik spektrum luas telah memberikan keuntungan selektif bagi mikroorganisme resisten untuk berkembang dan menggantikan populasi yang sensitif,” katanya.

Editor : Odi Siregar

Halaman Selanjutnya
Halaman : 1 2

Bagikan Artikel Ini
Konten di bawah ini disajikan oleh Advertiser. Jurnalis iNews Network tidak terlibat dalam materi konten ini.
News Update
Kanal
Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik Lebih Lanjut
MNC Portal
Live TV
MNC Network