Pendidikan gratis di Indonesia sering kali dipandang sebagai janji manis yang tidak terwujud dalam kenyataan. Meskipun pemerintah mengklaim komitmen untuk menyediakan pendidikan tanpa biaya, banyak orangtua masih terbebani oleh biaya tambahan yang tidak terduga. Dalam konteks ini, penting untuk mengevaluasi apakah pendidikan gratis benar-benar dapat diimplementasikan secara efektif atau hanya sekadar retorika politik.
Sejak diluncurkannya kebijakan pendidikan gratis, banyak daerah mengalami kesulitan dalam merealisasikan janji tersebut. Di tingkat SMA dan SMK, biaya operasional yang tinggi sering kali memaksa sekolah untuk meminta sumbangan dari orangtua siswa. Hal ini menciptakan ketidakadilan, di mana pendidikan yang seharusnya gratis tetap membebani masyarakat. Pengelolaan anggaran yang tidak efisien juga menjadi faktor utama mengapa pendidikan gratis sulit terwujud. Meskipun ada alokasi 20% dari APBN dan APBD untuk pendidikan, dana tersebut sering kali tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan sekolah secara menyeluruh.
Sementara akses pendidikan merupakan hak bagi setiap anak, kualitas pendidikan juga harus menjadi perhatian utama. Banyak pengamat berpendapat bahwa fokus seharusnya bukan hanya pada pendidikan gratis, tetapi juga pada penyediaan pendidikan yang bermutu dan terjangkau bagi semua lapisan masyarakat. Janji pendidikan gratis sering kali dipolitisasi, dan ketika realisasinya gagal, sekolah-sekolah menjadi korban karena tidak dapat memungut biaya yang diperlukan untuk operasional.
Daripada terus berpegang pada janji pendidikan gratis yang sulit direalisasikan, pemerintah sebaiknya mempertimbangkan pendekatan yang lebih pragmatis. Misalnya, memberikan bantuan langsung kepada keluarga miskin atau subsidi bagi siswa dari latar belakang ekonomi rendah. Dengan demikian, mereka tetap dapat mengakses pendidikan berkualitas tanpa membebani anggaran sekolah.
penting untuk memastikan bahwa dana yang dialokasikan benar-benar digunakan untuk kepentingan siswa. Pemerintah perlu melibatkan masyarakat dalam proses pengawasan agar penggunaan dana dapat dipertanggungjawabkan dan sesuai dengan kebutuhan nyata di lapangan.
Artikel ini ditulis oleh Mahasiswa Universitas Islam Negeri Sumatera Utara, Prodi Ilmu Kesehatan Masyarakat, Nazwa Dwi Syafitri
Editor : Odi Siregar
Artikel Terkait