Penolakan serupa juga disampaikan oleh pengamat ekonomi energi Universitas Gadjah Mada (UGM) Fahmy Radhi. Menurut Fahmy, skema power wheeling berpotensi menambah beban APBN dan merugikan negara. Power wheeling akan menggerus permintaan pelanggan organik PLN hingga 30 persen dan pelanggan non-organik hingga 50 persen.
Penurunan ini tidak hanya memperbesar kelebihan pasokan PLN, tetapi juga menaikkan harga pokok penyediaan (HPP) listrik, yang berdampak pada peningkatan APBN untuk membayar kompensasi kepada PLN akibat tarif listrik PLN yang di bawah HPP dan harga keekonomian. Bagi rakyat, penetapan tarif listrik yang diserahkan kepada mekanisme pasar akan membuat tarif listrik bergantung pada permintaan dan penawaran.
Menghadapi berbagai kontra terhadap skema power wheeling, Abrar menyatakan bahwa pembahasan RUU EBET sebaiknya dilanjutkan pada masa pemerintahan presiden periode 2024-2029.
"Kita masih punya waktu untuk membahasnya dengan lebih mendalam, sehingga tidak ada yang dirugikan. Jangan hanya untuk memaksakan ambisi politik yang harus selesai sebelum periode presiden saat ini berakhir pada Oktober mendatang. Kasihan rakyat dan ini akan menjadi beban negara nantinya," tegas Abrar.
Editor : Ismail
Artikel Terkait