Peristiwa Isra Miraj diyakini merupakan akhbar dan izin langsung dari Tuhan seperti yang dijelaskan dalam Al-Qur’an Surat al-Isra’ ayat 1. Ia adalah peristiwa yang khariqul adah (tidak lazim). Jika lazim, berarti bukan peristiwa kenabian yang disakralkan oleh ummatnya. Dalam bahasa Mircea Eliade (2002), sesuatu yang sakral adalah suci dan disucikan oleh orang yang meyakininya, sekaligus tidak mudah untuk dilupakan.
Apabila kita cermati, Isra mi’raj paling tidak mengandung dua dimensi perjalanan, yakni dimensi perjalanan horizontal dan perjalanan vertikal. Perjalanan horizontal adalah dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa. Sementara perjalanan vertikal dari Masjidil Aqsa menembus lapisan-lapisan langit hingga ke sidratul muntaha.
Perjalanan horizontal merupakan simbol perjalanan darat/bumi (ardli). Ia berada pada dimensi insaniah (kemanusiaan). Tafsir bebasnya, risalah kenabian Muhammad bertitik tolak dari pengangkatan martabat kemanusiaan. Pembebasan manusia dari perbudakan, pembebasan pembunuhan orang tua kepada anak perempuan, eksistensi hak waris bagi perempuan, dan persoalan-persoalan lain yang menjadi tradisi jahiliyah didekonstruksi oleh Muhammad.
Dalam dimensi horizontal ini pula, sebelum pengangkatan kenabian, Muhammad telah dijuluki “al-amin”. Orang yang terpercaya atas segala tutur kata, akhlak dan budi pekertinya. Ia mendapatkan pengakuan tersebut dari masyarakat Quraisy. Muhammad layaknya oase ditengah kemerosotan peradaban Quraisy ketika itu. Michael Hart menempatkan Muhammad pada peringkat pertama dalam bukunya “100 Tokoh Paling Berpengaruh Dalam Sejarah”.
Editor : Vitrianda Hilba SiregarEditor Jakarta
Artikel Terkait