IRAN, iNewsMedan.id - Keperawanan harus ada sertifikat. Itulah yang terjadi di negeri para Mullah, Iran. Status keperawanan begitu pentingnya di Iran saat akan melakukan pernikahan.
Calon mempelai pria dan keluarganya bahkan tak ragu meminta kepada calon mempelai wanita dan keluarganya untuk menujukkan sertikat keperawanan.
Hal ini tentu menjadi tekanan bagi kaum wanita dan keluarganya.
Bahkan, World Health Organization (WHO) atau Organisasi Kesehatan Dunia menganggap praktik tersebut sebagai pelanggaran hak asasi manusia (HAM).
Dan semakin banyak warga yang menentangnya selama setahun terakhir.
"Kamu tidak perawan. Kamu menipu saya sehingga saya menikahimu. Tak ada orang yang mau menikahimu jika mereka tahu yang sebenarnya,” terang suami Mariam kepadanya setelah mereka berhubungan seks untuk pertama kali.
Tapi Mariam berkeras meyakinkan suaminya bahwa dirinya tidak pernah berhubungan seks dengan lelaki lain, meskipun alat kelaminnya tidak mengeluarkan darah karena selaput dara yang pecah.
Suami Mariam tidak percaya dan meminta Mariam untuk mendapatkan sertifikat keperawanan.
Empat tahun setelah mencoba bunuh diri dan hidup bersama suaminya yang suka menyiksa, Maryam akhirnya bercerai melalui pengadilan.
Baru beberapa pekan lalu, dia berstatus lajang.
"Akan sangat sulit percaya laki-laki lagi. Saya tidak terpikir menikah lagi dalam waktu dekat," katanya.
Bersama puluhan ribu perempuan lainnya, dia menandatangani petisi daring yang menuntut diakhirinya sertifikat keperawanan.
Meski dia paham bahwa hal itu sulit segera terjadi, mungkin sampai dia meninggal dunia, dia meyakini suatu nanti perempuan di Iran akan semakin dekat ke kesetaraan.
"Saya yakin itu akan terjadi suatu hari. Saya harap di masa depan tiada perempuan yang harus menjalani apa yang saya alami,” tambahnya.
Ini bukan hal yang janggal di Iran. Banyak perempuan mendatangi dokter setelah menikah guna menjalani tes yang membuktikan bahwa mereka tidak pernah berhubungan seks.
Akan tetapi, menurut WHO, tes keperawanan tidak ada landasan ilmiahnya.
Sertifikat yang didapat Mariam menyatakan selaput daranya tergolong "elastis". Itu artinya vaginanya bisa saja tidak berdarah setelah berhubungan seks penetratif.
"Harga diri saya terluka. Saya tidak berbuat salah tapi suami saya tetap menghina saya. Saya sudah tidak tahan lagi jadi saya mengambil beberapa pil dan mencoba bunuh diri," paparnya.
Percobaan bunuh diri Mariam gagal. Dia dilarikan ke rumah sakit tepat pada waktunya dan berhasil selamat.
"Saya tidak pernah melupakan hari-hari kelam itu. Berat badan saya menyusut 20kg pada waktu itu,” lanjutnya mengutip BBC.
Kisah Maryam dialami banyak perempuan lainnya di Iran. Berstatus perawan sebelum menikah masih amat penting bagi banyak perempuan dan keluarga mereka. Hal itu berakar pada konservatisme budaya.
Namun, baru-baru ini keadaan mulai berubah. Sejumlah perempuan dan pria di Iran berkampanye untuk mengakhiri tes keperawanan.
November lalu, sebuah petisi daring menerima hampir 25.000 tanda tangan dalam waktu sebulan. Inilah pertama kalinya tes keperawanan ditentang secara terbuka oleh sekian banyak orang di Iran.
"Praktik itu adalah pelanggaran privasi dan memalukan," kata Neda.
Ketika Neda masih pelajar berusia 17 tahun di Teheran, keperawanannya hilang setelah berhubungan seks dengan pacarnya.
"Saya panik. Saya takut apa yang akan terjadi jika keluarga saya tahu."
Di tengah kepanikannya, Neda memutuskan untuk memperbaiki selaput daranya.
Prosedur ini secara teknis tidak ilegal—namun dampak sosialnya berbahaya sehingga tiada rumah sakit yang setuju melakukannya.
Neda kemudian menemukan sebuah klinik swasta yang bersedia melakukannya secara diam-diam—dengan biaya besar.
"Saya menghabiskan semua tabungan saya. Saya menjual laptop, ponsel, dan perhiasan emas saya," paparnya.
Neda harus menandatangani dokumen yang menyatakan dirinya akan memikul tanggung jawab jika ada sesuatu yang salah.
Seorang bidan melakukan prosedur perbaikan tersebut yang berlangsung sekitar 40 menit.
Namun, Neda perlu waktu berminggu-minggu untuk pulih.
"Saya merasa sangat kesakitan sampai-sampai saya tidak bisa menggerakkan kaki," kenangnya.
Dia menyembunyikan kondisinya dari orang tuanya.
"Saya merasa sangat kesepian. Namun, kalau saya ingat-ingat, ketakutan bahwa orang tua mengetahui [saya tidak perawan] membuat saya bisa menahan sakit,” ujarnya.
Semua upaya Neda ternyata sia-sia. Setahun kemudian dia bertemu seorang pria yang hendak menikahinya. Tapi ketika mereka berhubungan seks, Neda tidak berdarah. Prosedur perbaikan selaput dara yang dia jalani, gagal.
"Pacar saya menuduh saya mencoba menipu dia agar menikah. Dia menuduh saya berbohong dan dia meninggalkan saya,” ungkapnya.
Meski WHO mengecam tes keperawanan sebagai sesuatu yang tidak etis dan kurang landasan ilmiah, praktiknya masih berlangsung di sejumlah negara,. Termasuk di Indonesia, Irak, dan Turki.
Organisasi Medis Iran menekankan bahwa mereka hanya menjalankan tes keperawanan dalam kondisi spesifik—seperti kasus pengadilan dan tuduhan pemerkosaan.
Meski demikian, sebagian besar permintaan sertifikat keperawanan masih berasal dari para pasangan yang berencana menikah. Para pasangan itu kemudian mendatangi klinik swasta—bahkan dalam banyak kasus didampingi ibu mereka.
Dalam proses tersebut, seorang dokter ginekologi atau bidan akan melakukan tes dan merilis sertifikat berisi nama lengkap perempuan, nama ayahnya, nomor induk kependudukan, dan kadang kala disertai foto sang perempuan.
Status selaput daranya akan tertera pada sertifikat tersebut disertai pernyataan: "Gadis ini tampaknya adalah perawan".
Di keluarga-keluarga yang lebih konservatif, sertifikat akan ditandatangani dua saksi—biasanya kedua ibu masing-masing calon mempelai.
Dr Fariba adalah salah satu dokter yang merilis sertifikat keperawanan selama bertahun-tahun. Dia mengakui tes keperawanan adalah praktik yang memalukan bagi perempuan, namun dia meyakini bahwa sejatinya dia membantu banyak perempuan.
"Mereka berada dalam tekanan berat dari keluarga. Kadang kala saya berbohong secara verbal demi pasangan. Jika mereka telah tidur bersama dan ingin menikah, Saya akan mengatakan di depan keluarga mereka bahwa perempuan ini adalah perawan,” terangnya.
Praktik tes keperawanan tetap berlangsung karena bagi banyak pria, menikahi seorang perawan adalah sesuatu yang fundamental.
"Jika seorang perempuan kehilangan keperawanannya sebelum menikah, dia tidak bisa dipercaya. Dia mungkin meninggalkan suaminya demi pria lain," kata Ali, seorang teknisi listrik, 34, dari Shiraz.
Editor : Vitrianda Hilba SiregarEditor Jakarta
Artikel Terkait