Dihadapan majelis, Redyanto menyebut bahwa terdakwa merupakan korban kriminalisasi atas viralnya video seolah menyuntikkan kosong, bukan pembuktian hukum vaksin yang sebenar-benar kosong.
"Bahwa JPU dalam dakwaannya tidak menyebutkan apalagi menguraikan apa yang yang menyebabkan spuit/jarum suntik kosongkosong/tidak ada cairan vaksin dan siapa yang membuat kosong. Apakah video tersebut dapat menjawab secara hukum sesuai standar profesi apalagi secara medis," kata Redyanto.
Penasihat hukum pun menguraikan tidak jelasnya siapa korban, kerugian dan apa dampak hukum atas dugaan vaksin kosong. "Bagaimana mungkin klien mereka didakwa menghalang-halangi penanggulangan wabah Covid-19, hanya berdasarkan rekaman video orang tua murid?" kata Redyanto.
Selain itu, Redyanto menyebut Pengadilan Negeri Medan tidak berwenang untuk menilai kesalahan terdakwa tanpa adanya secara standar profesi. Penilaian dari organisasi profesi, khususnya dari Majelis Etik Profesi Etik dan Kedokteran. Terdakwa belum pernah di sidangkan dan dinyatakan bersalah oleh ketua Majelis kehormatan disiplin kedokteran IndonesiaIndonesia atas dugaan menyuntikkan vaksin kosong.
"Karena yang menilai ada tidaknya suatu kesalahan atau kelalaian adalah organisasi profesi itu sendiri yang mengetahui standarnya. Lebih baik melepaskan seribu orang bersalah daripada menghukum seorang yang tidak bersalah," pungkasnya.
Usai mendengarkan nota keberatan terdakwa, majelis hakim pun menunda persidangan hingga pekan depan dengan agenda tanggapan penuntut umum.
Editor : Ismail
Artikel Terkait