"Satu kekeliruan dan kejahatan mengabaikan nasib buruh dan kaum pekerja dengan memaksakan revisi UU PPP Nomor 15 Tahun 2019 yang bukan merupakan putusan MK yang memerintahkan perbaikan UU Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja, jelasnya.
"Apalagi tujuan utama revisi UU PPP itu hanya untuk melegitimasi cara omnibus atau cara sapu jagad dalam pembahasan UU Cipta Kerja agar terkesan telah mematuh putusan MK nomor 91/PUU-XVIII/2020 akibat gugatan buruh terhadap UU Cipta Kerja. Ini seperti cara pintas potong jalan agar cepat sampai ke tujuan namun melanggar rambu lalu lintas," timpalnya.
Sahat juga menjelaskan, jika DPR dan pemerintah mau berbesar hati dan tak arogan, perintah MK agar mempertimbangkan keseimbangan antara syarat pembentukan sebuah undang-undang yang harus dipenuhi sebagai syarat formil guna mendapatkan undang-undang yang memenuhi unsur kepastian hukum serta kemanfaatan dan keadilan dalam UU Cipta Kerja, seharusnya mempertimbangkan tujuan strategis dari dibentuknya UU Cipta Kerja.
"Bukan sekedar pertimbangan agar investor bisa lekas masuk ke Indonesia mengejar target pertumbuhan ekonomi dengan alasan ekonomi terpuruk dampak Covid-19," ungkapnya.
Pemerintah dan DPR, ujar Sahat, diperintahkan MK menyusun kembali UU Cipta Kerja sesuai dengan asas pembentukan perundang-undangan serta membuka seluas-luasnya partisipasi masyarakat yang mengkritisi dan memberikan masukan terhadap revisi UU Cipta Kerja.
Editor : Odi Siregar