Tanah PTPN II Hilang: Jejak Korupsi, dari Kolonial hingga Proyek Megapolitan
             
            
             MEDAN, iNewsMedan.id - Aset negara berupa lahan eks Hak Guna Usaha (HGU) PT Perkebunan Nusantara II (PTPN II) di Sumatera Utara dilaporkan telah lenyap secara masif dan sistematis, mencapai sekitar 250.000 hektare atau setara dengan 3,5 kali luas DKI Jakarta. Menurut data terkini, hanya 5.873 hektare yang tersisa dan tercatat resmi, menandai hilangnya 97,6% tanah negara yang disebut sebagai tragedi agraria terbesar di Indonesia.
Temuan ini diungkapkan oleh Sekretaris Pendiri Indonesian Audit Watch (IAW), Iskandar Sitorus, yang menganalisis jejak historis dan administratif penghilangan aset tersebut.
                                                        Pola Penghilangan Aset Sejak Masa Kolonial
Kisah pilu ini berakar dari warisan kolonial, di mana perusahaan Belanda menguasai 250.000 hektare lahan tembakau Deli. Setelah nasionalisasi pasca kemerdekaan, aset ini seharusnya menjadi milik negara untuk kesejahteraan rakyat.
Namun, Sitorus menyebut terjadi "Nasionalisasi yang Dikhianati". Berbagai kebijakan progresif pemerintah pada tahun 1951–1975 yang membatasi konsesi perkebunan dan mewajibkan pengembalian ±191.000 hektare untuk objek landreform diabaikan.
                                                        "Ini bukan kelalaian biasa, tapi pola sistematis yang perlu diusut tuntas. Sebuah tragedi agraria terbesar yang terjadi di depan mata kita," kata Sitorus, Sabtu (1/11/2025).
Pengusiran Petani dan Manipulasi Batas
Alih-alih mengembalikan ke rakyat, perusahaan yang dinasionalisasi justru melakukan operasi "pembersihan garapan" dan pengusiran paksa. Tim penelitian Pilar Batas pada tahun 1973 menemukan fakta bahwa pilar batas HGU dipindahkan secara sepihak, dipasang di atas tanah rakyat, dan sekitar 7.000 hektare pertanian rakyat dihapus paksa.
                                                        Meskipun Mahkamah Agung (MA) secara konsisten membela rakyat melalui sejumlah putusan (seperti Putusan MA No. 342 K/Sip/1985 yang menegaskan tanah eks HGU yang habis masa berlaku kembali ke negara), putusan-putusan tersebut diabaikan oleh pemerintah pada masa itu.
Era Penghilangan Aset Sistematis (1981–1997)
Penghilangan aset mencapai puncaknya pada periode 1981–1997. Surat resmi Dirut PTPN II tahun 1997 bahkan menyebutkan adanya pengalihan tanah 5.569 hektare kepada pihak ketiga. Ironisnya, PTPN II malah mengajukan permohonan HGU baru seluas 59.796 hektare—jauh melebihi batas yang sah.
                                                        Badan Pertanahan Nasional (BPN) Sumatera Utara sendiri menemukan kelebihan penguasaan 61.382 hektare yang diduga berasal dari tanah redistribusi milik rakyat.
Rekomendasi Pansus DPR Diabaikan Selama Dua Dekade
Pada tahun 2004, Panitia Khusus (Pansus) DPR RI telah mengungkap:
                                                        - PTPN II menguasai kelebihan ±19.093,96 Ha dari alokasi sah yang berasal dari tanah objek landreform milik rakyat.
- Terjadi manipulasi administratif dalam pengajuan perpanjangan HGU.
- Terjadi intimidasi terhadap petani.
Rekomendasi Pansus agar BPN meneliti ulang seluruh HGU PTPN II dan mencabut HGU yang tumpang tindih diabaikan selama 21 tahun. Temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tahun 2008 hingga 2023 juga konsisten mengungkap praktik tak sehat, seperti penguasaan tanah eks HGU oleh pihak ketiga tanpa dasar hukum dan mekanisme pengalihan hak tanpa tender.
Realitas Pahit: Sisa Aset Hanya 5.873 Hektare
Data terkini menunjukkan total penguasaan tanah oleh perkebunan di Sumatera Utara kini hanya tersisa 5.873 hektare di empat wilayah, yaitu Deli Serdang, Kota Medan, Langkat, dan Binjai. Jumlah ini hanya 2,3% dari aset awal 250.000 hektare.
Modus Baru: Proyek Megapolitan dan Ganti Rugi Fiktif
Modus terbaru yang terungkap adalah melalui proyek pembangunan "Kota Deli Megapolitan" di atas lahan eks-HGU yang bermasalah. Bupati Deli Serdang, Ashari Tambunan (yang kini disidik Kejaksaan Tinggi Sumut), mengeluarkan Surat Persetujuan Prinsip untuk proyek tersebut.
Kasus petani penggarap, Sugiono, menjadi sorotan karena justru dipanggil Polda Sumut atas tuduhan penguasaan lahan. Sitorus menduga, Sugiono menjadi "kambing hitam" dari proses ganti rugi yang dilakukan Pemkab Deli Serdang kepada PTPN II tanpa mekanisme Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA) yang benar.
Tuntutan Penegakan Hukum dan Reforma Agraria
IAW menuntut agar penegak hukum, khususnya Polda Sumut dan Kejati Sumut, melakukan koordinasi intensif dalam penyidikan. Fokus harus diarahkan pada aktor utama (oknum PTPN II dan Pemkab) dan mengaudit proses ganti rugi yang tidak prosedural.
Di sisi pemerintah, audit menyeluruh portofolio tanah PTPN II, implementasi rekomendasi Pansus DPR 2004, dan sinkronisasi data antar instansi menjadi langkah konkret yang mendesak untuk mengakhiri tragedi agraria ini.
"Ini bukan sekadar sengketa pertanahan, tapi sudah menjadi perkara pidana korupsi yang melibatkan aset BUMN dan penyalahgunaan wewenang," tegas Sitorus.
Editor : Jafar Sembiring