Menggali Manfaat Hasil Hutan Non-Kayu untuk Masa Depan Berkelanjutan
Selain pewarna alami, komoditas lain seperti madu, rotan, dan resin jernang juga menjanjikan. Namun, data dan pemetaan potensi HHBK di Indonesia masih minim. Padahal, di pasar global, jernang telah lama dipakai sebagai bahan pewarna keramik maupun farmasi.
Dijelaskannya, pengembangan HHBK tidak cukup berhenti pada pelatihan masyarakat. Tantangan besar justru terletak pada pemasaran dan keberlanjutan usaha. “Seringkali kendalanya itu di situ. Mereka diberi keterampilan, sumber dayanya ada di samping rumah mereka. Tapi setelah jadi, dibawa ke mana? Ngejualnya ke mana?” ujarnya.
Karena itu, ia mendorong adanya kolaborasi lintas pihak, mulai dari universitas, pemerintah, hingga sektor swasta. Pendampingan berkelanjutan, terutama dalam aspek digital marketing, pengemasan produk, hingga akses pameran dinilai penting agar produk masyarakat bisa menembus pasar.
“Kalau kelompoknya itu aktif, giat, bahkan akhirnya mereka bisa ikut pameran ke mana-mana, bisa juga menjadi narasumber ke mana-mana, kita kan senang. Artinya transfer ilmu yang kita lakukan itu berdampak,” tegasnya.
Ia juga menekankan pentingnya menggali kearifan lokal. Beberapa komunitas adat di Sumatera Utara, misalnya, telah lama menggunakan kulit kayu Sikam dan Balaka untuk kuliner maupun pewarna. Potensi ini bisa dikembangkan ke industri tekstil, tenun, dan batik alami yang kini banyak diminati pasar luar negeri.
“Optimalisasi HHBK bukan hanya soal ekonomi, tapi juga untuk kelestarian hutan. Karena ketika masyarakat mengetahui ada nilai ekonomi dari cabang, daun, atau serbuk kayu, mereka bisa memanfaatkannya tanpa merusak. Kuncinya adalah sinergi,” ujarnya.
Potensi Jamur untuk Pangan dan Obat
Dalam kesempatan yang sama, akademisi USU, Liana Dwi Sri Hastuti, yang sudah bertahun-tahun meneliti tentang jamur, mengatakan jamur memiliki potensi besar untuk dikembangkan sebagai sumber pangan, obat-obatan, hingga kosmetik. Menurutnya, keanekaragaman jamur di Indonesia sangat tinggi karena statusnya sebagai salah satu negara mega biodiversitas.
“Jamur sangat potensial sebagai pangan, obat-obatan, dan kosmetik. Mereka bisa dikembangkan di bidang pertanian, kesehatan, bahkan menjadi solusi untuk krisis pangan, terutama bagi anak-anak yang mengalami stunting karena kekurangan protein,” jelasnya.
Jamur, lanjut Liana, memiliki keunggulan dibandingkan sumber protein hewani seperti ayam atau daging sapi, karena efek sampingnya rendah bagi kesehatan. Namun, meski permintaan jamur di Sumatera Utara tinggi, produksi lokal masih jauh dari mencukupi.
“Permintaan jamur sangat besar, tetapi budidaya di Sumatera Utara masih rendah. Padahal banyak spesies jamur yang belum diteliti dan bisa dimanfaatkan,” tambahnya.
Beberapa jenis jamur bahkan bernilai ekonomi tinggi di pasar internasional, seperti jamur susu harimau yang bisa mencapai harga Rp1 juta per kilogram dan jamur travel yang harganya menembus Rp4 juta per kilogram. Namun, menurut Liana, sebagian besar permintaan justru datang dari luar negeri karena kurangnya pemahaman masyarakat Indonesia akan potensi jamur.
Selain bernilai ekonomi, jamur juga berkhasiat bagi kesehatan. Beberapa spesies diketahui dapat membantu mengatasi penyakit kanker, jantung, hingga diabetes. Sayangnya, penelitian di Indonesia masih minim karena keterbatasan musim, biaya, serta sarana pendukung. “Jamur biasanya muncul pada musim hujan dan petir, itu pun terbatas. Penelitian dan riset masih sangat sedikit,” ungkapnya.
Untuk itu, Liana mendorong pemerintah agar lebih serius mendukung pengembangan jamur, termasuk memberikan bantuan kepada petani. Ia mencontohkan pengalaman membina komunitas petani jamur di Medan yang mampu menghasilkan pendapatan hingga Rp20 juta per bulan, meski dengan fasilitas terbatas.
Menurutnya, teknologi budidaya jamur sebenarnya tidak mahal jika dilakukan dengan inovasi sederhana. Misalnya, penggunaan kulkas bekas untuk mengatur suhu atau alat kelembapan rakitan sendiri. “Rekayasa iklim untuk budidaya jamur bisa dilakukan secara sederhana, bahkan dengan peralatan rumah tangga yang dimodifikasi. Jadi ini sangat mungkin dikembangkan sebagai industri rumahan,” terangnya.
Editor : Jafar Sembiring