get app
inews
Aa Text
Read Next : Sultan Medan Siap Pindah ke Mobil Listrik? Maxus Buka Keran MPV Premium di Sumut!

Menggali Manfaat Hasil Hutan Non-Kayu untuk Masa Depan Berkelanjutan

Selasa, 16 September 2025 | 16:55 WIB
header img
Menggali Manfaat Hasil Hutan Non-Kayu untuk Masa Depan Berkelanjutan. Foto: Istimewa

Di tengah persoalan itu, Purnomo menekankan banyak komoditas hasil hutan yang punya nilai tinggi namun belum digarap maksimal. Ia mencontohkan sukun yang kini diolah menjadi tepung bebas gluten dan laris di pasar Amerika. Begitu juga alpukat yang diminati karena tren kesehatan, serta minyak sirih yang bernilai ratusan ribu rupiah per kilogram.

“Kalau di hutan ada kayu, bisa juga ditanam rambatan seperti kemukus, merica, atau vanili. Jadi satu pohon bisa menghasilkan banyak. Pertanian modern seharusnya seperti itu: nanam satu, dapat banyak,” katanya.

Konsep ini berbeda dengan pertanian konvensional yang hanya mengandalkan satu komoditas. Dengan pola multikultur, petani bisa memperoleh pendapatan dari berbagai sumber sekaligus, sekaligus menjaga ekosistem hutan.

Menurutnya, masyarakat hutan selama ini terjebak dalam budidaya semata, tanpa keterampilan hilirisasi. Produk kopi misalnya, hanya dijual dalam bentuk biji hijau dengan harga Rp140 ribu per kilogram. Padahal setelah dipanggang, nilainya bisa naik lebih dari dua kali lipat.

“Kalau masyarakat hanya menjual hasil mentah, mereka tidak pernah dapat nilai tambah. Padahal dari green bean ke roasted, nilainya bisa 100 persen lebih tinggi. Itu yang harus dinikmati petani,” jelasnya.

Ia juga mengkritisi model perdagangan yang tidak transparan. Menurutnya, petani seharusnya tahu harga jual akhir produk mereka, bukan hanya harga di tingkat tengkulak. Skema seperti fair trade dan organik diharapkan bisa menjembatani hal tersebut.

Purnomo mengingatkan agar setiap program pendampingan tidak sekadar melibatkan masyarakat sebatas tenaga kerja atau formalitas musyawarah. Mereka harus benar-benar menjadi bagian dari kepemilikan usaha, baik dalam bentuk koperasi maupun perusahaan.

“Kalau bikin perusahaan, masukkan masyarakat jadi pemilik. Kalau koperasi, mereka harus jadi anggota. Jangan sampai kita yang datang ke desa malah jadi juragan baru. Sudah waktunya masyarakat diberikan kepercayaan penuh,” katanya.

Potensi HHBK Melimpah di Sumatera Utara

Sementara itu, akademisi Universitas Sumatera Utara, Dr. Iwan Risnasari, S.Hut., M.Si., menjelaskan, masyarakat selama ini masih terjebak pada pandangan bahwa hutan hanya bernilai dari kayu. Padahal, di balik itu terdapat banyak sumber daya lain yang bernilai ekonomi tinggi.

“Tantangannya degradasi hutan, deforestasi. Sebenarnya kenapa muncul degradasi, deforestasi? Mungkin karena mindset masyarakat kita bahwa hasil hutan yang penting itu kayu. Padahal kalau kita lihat hasil hutan selain dari kayu ternyata tidak kalah banyak nilai ekonominya,” ujarnya.

Dikatakannya, pemanfaatan zat pewarna alami dari berbagai tumbuhan, termasuk mangrove dan tanaman khas daerah. Di Nusa Tenggara, misalnya, masyarakat masih mengolah akar mengkudu sebagai pewarna merah tanpa campuran kimia. Namun, tingginya permintaan seringkali mendorong eksploitasi berlebihan hingga dikhawatirkan tanaman tersebut punah.

“Sehingga ada kekhawatiran, ini nanti lama-lama punah. Mungkin bisa jadi karena kurang sosialisasi bahwa harus ada budidaya,” jelasnya.

Di Sumatera Utara, potensi pewarna alami juga melimpah. Kayu tinggi, secang, mahoni hingga limbah kayu merbau terbukti menghasilkan pigmen warna. Bahkan, riset kecil yang dilakukannya menunjukkan serbuk kayu merbau bekas panglong laku terjual hingga puluhan kilogram hanya dalam dua hari.

“Artinya kan potensial, ya, selama kita tahu apa potensinya. Selama ini mungkin kita tidak tahu apa saja potensi yang ada di sekitar kita,” katanya.

Editor : Jafar Sembiring

Follow Whatsapp Channel iNews untuk update berita terbaru setiap hari! Follow
Lihat Berita Lainnya
iNews.id
iNews Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik lebih lanjut