MHA Simenakhenak, Dari Kopi, Pengakuan Wilayah, Hingga Perubahan Iklim

Dijelaskannya, dalam banyak riset yang sudah dilakukan perubahan iklim berdampak pada persebaran hama dan penyakit tanaman. Pada tanaman kopi, ada hama penggerek buah yang berpengaruh pada produktivitas.
Sebagai pendamping, Green Justice Indonesia dan AMAN mengembangkan strategi pengendalian hama berbasis ekologi yang tidak mengandalkan pestisida kimia, tetapi dengan pendekatan terpadu seperti diversifikasi tanaman, penggunaan pestisida nabati, serta rotasi lahan.
Pendamping masyarakat dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Marlina Pasaribu mengatakan, pihaknya mendampingi masyarakat di sini selain untuk menguatkan dari sisi pemberdayaan melalui kopi, juga sebagai respon persoalan yang dihadapi masyarakat selama ini, yakni berhadapan dengan korporasi.
Pendampingan ini penting karena pengetahuan masyarakat adat di sini terkait budidaya kopi dan juga hukum masih perlu ditingkatkan. “Dulu masyarakat berhaminjon, sekarang tidak bisa lagi. Dulu kopi produksinya bagus, lalu karena ada perusahaan, di sana ada penyemprotan, jadi hamanya ke kebun petani,” katanya.
Pendamping petani kopi, Raja Banggas Rambe mengatakan, kegiatan yang dilakukan di desa ini merupakan pertemuan keempat oleh GJI bersama AMAN. Kegiatan ini adalah tindak lanjut dari pelatihan sebelumnya yang memadukan teori dan praktik langsung, baik di kebun maupun di rumah-rumah warga.
“Pertemuan ini membahas tentang bisnis kopi berkelanjutan. Kami belajar bagaimana petani mengelola kopi dari kebun hingga menjadi green bean, termasuk proses ceri, gabah, dan pengolahan asalan,” ujarnya.
Selama ini petani menjual kopi dalam bentuk gabah kepada tengkulak dengan harga rendah, tanpa memilah kualitas ataupun mengolahnya lebih lanjut. Padahal, jika dikelola menjadi green bean atau bubuk, nilai ekonominya bisa meningkat tajam.
“Setiap daerah memiliki cita rasa kopi yang unik. Dan kopi dari Simenakhenak punya karakter yang kuat. Tapi kita belum terbiasa mengelola kopi sendiri, apalagi sampai menjadi produk akhir,” katanya.
Dijelaskannya, hasil penghitungan kasar menunjukkan pengelolaan kopi secara organik dan berkelanjutan memberikan nilai lebih besar dibandingkan hasil dari eksploitasi kayu yang dilakukan perusahaan. Selain lebih ramah lingkungan, ekonomi dari kopi juga menghidupi lebih banyak orang tanpa merusak tanah dan ekosistem.
“Masyarakat di sini masih merasa dipandang sebelah mata. Seharusnya ada kejelasan dan perlindungan atas wilayah adat yang sudah jelas mereka perjuangkan,” ujarnya.
Ia berharap pemerintah tidak hanya hadir secara seremonial, tetapi juga memberikan dukungan nyata dalam bentuk perlindungan hukum, akses terhadap pasar, pengetahuan, dan sarana produksi yang layak.
“Bukan hanya perusahaan yang harus dipercaya mampu memberi dampak ekonomi. Petani juga mampu, bahkan dengan cara yang lebih adil dan lestari,” ujarnya.
Editor : Jafar Sembiring