MHA Simenakhenak, Dari Kopi, Pengakuan Wilayah, Hingga Perubahan Iklim

TOBA, iNewsMedan.id - Sebuah kampung di pedalaman bernama Simenakhenak, berada di Dusun Tungkoni Solu, Desa Parsoburan Barat, Kecamatan Habinsaran, Kabupaten Toba, Sumatera Utara, sebagian penduduknya bertani kopi. Kebun kopinya dikelilingi tanaman eucalyptus.
Green Justice Indonesia (GJI) bersama Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mendampingi masyarakat Simenakhenak melalui budidaya kopi dengan prinsip-prinsip yang sejalan dengan ekologi.
Ketua Masyarakat Hukum Adat (MHA) Simenakhenak, Doni Samosir mengatakan, kopi merupakan komoditas utama yang dikembangkan masyarakat. MHA Simenakhenak sendiri memiliki wilayah sekitar 236 hektare yang menurutnya sudah memiliki SK. Selain kopi, masyarakat juga bersawah dan mengelola kemenyan.
Dijelaskannya, dalam mengelola wilayah adatnya, ada beberapa tantangan seperti klaim kepemilikan lahan secara sepihak dari kampung lain. Hal tersebut dapat memicu terjadinya konflik jika tidak segera diselesaikan.
“Jadi kemarin memang kami bentrok sama kampung sebelah sana. Pihak perusahaan menanam (eucalyptus) di lahan yang kami tanami kopi,” katanya.
Hal itu terjadi sekitar setahun yang lalu. Tanaman kopi yang dirusak masih berumur sekitar 3 bulan. Menurutnya masyarakat tidak pernah mendapat pemberitahuan apapun sebelum terjadi penanaman eucalyptus di lahan yang ditanami kopi.
Dia mengaku heran masyarakat dilarang mengolah wilayah adatnya yang diperoleh secara turun temurun dari nenek moyangnya. “Harapan kami sih, tolong lah pemerintah ditengok dulu kami, supaya kami pun senang bisa mengelola tanah kami. Jangan ada lagi yang mengganggu atau menggugat tanah kami,” ujarnya.
Petani kopi, Robin Simbolon mengatakan, dari 120 kepala keluarga (KK) di Desa Parsoburan Barat, hanya 50 persen yang mengusahakan kopi. Selebihnya bekerja di perusahaan sekitar. Lahan kopi di desa ini kisaran 30 hektare. Menurutnya yang menjadi masalah bagi petani kopi adalah produksi yang masih rendah.
“Menjadi petani kopi selama ini saya merasa rugi. Rugi karena ketidaktahuan di masalah perawatan kopi,” katanya.
Hasil panen selama ini masih jauh dari harapan. Dari sekitar 1.000 batang yang ditanamnya hanya mampu memproduksi 40 kg per minggu. Sehingga, yang pendampingan kepada masyarakat masih sangat diharapkan.
“Dari sisi harga, kopi kering dihargai sekitar Rp 40.000 per tumba. Satu tumba setara 2 liter,” katanya.
Pada bulan Mei lalu, dia bersama sejumlah warga study banding di Aek Sabon, tepatnya di Tyyana Kopi, milik Abdul Wahid Harahap. Di tempat tersebut mereka mempelajari perawatan kopi. “Jadi di sana kita pelajari, daun tidak perlu banyak. Rimbun daun, buah tak ada. Dengan pemangkasan yang tepat, buah banyak,” katanya.
Project Officer Green Justice Indonesia, Chandra Frans Daniel Silalahi mengatakan, pihaknya mendampingi masyarakat bermitra dengan Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH). Di tingkat tapak, GJI berkerjasama dengan AMAN mendampingi MHA Simenakhenak dalam pengembangan budidaya kopi.
“Yang dilakukan adalah pelatihan untuk meningkatkan kapasitas petani mulai dari pembuatan pupuk organik, budidaya kopi dengan baik, juga sudah serah terima alat produksi seperti mesin huler and pulper, juga sudah study banding local champion di Tyyana Kopi,” katanya.
Dia berharap masyarakat tetap semangat dalam mengembangkan komoditas utamanya, kopi, sekaligus tetap berperan aktiv dalam menjaga lingkungan, menjaga wilayahnya yang merupakan warisan nenek moyangnya.
“Bagaimanapun MHA Simenakhenak ini adalah sebuah komunitas yang sudah diakui pemerintah pusat tahun 2018 yang sudah ditunjuk, tapi ada permasalahan memang, kendala urusan administrasi sehingga masih bersifat indikatif,” katanya.
Dia berharap agar Bupati Toba dapat mempercepat proses atau mendorong agar MHA Simenakhenak ini secepa mungkin diakui agar lebih leluasa mengelola wilayah mereka. Di tingkat provinsi, pihaknya berharap agar pemerintah daerah mendorong pusat lebih memerhatikan eksistensi masyarakat adat di Sumatera Utara.
Pihaknya juga berharap agar DPR RI segera mengesahkan Rancangan Undang-undang Masyarakat Adat yang akan menjadi payung hukum penting, sehingga masyarakat adat memiliki perlindungan dan kekuatan yang jelas dalam menjaga wilayah mereka.
“Masyarakat adat sangat berperan penting dalam menjaga kelestarian ekosistem. GJI masih tetap pada prinsipnya, ketika alam itu dijaga, ketika alam lestari, maka masyarakat akan selalu sejahtera,” ujarnya.
Hal senada disampaikan Manajer Program Green Justice Indonesia, Sofian Adly mengatakan, wilayah ini merupakan bagian dari bentang alam hutan di wilayah Toba yang memiliki potensi pertanian yang sangat besar dengan komoditas di antaranya kopi, padi, dan jagung. Pendampingan yang dilakukan ini untuk memperkuat kapasitas masyarakat dalam mengelola pertanian berkelanjutan sambil menjaga ekosistem hutan.
“Kami berharap Bupati segera menerbitkan SK pengakuan. Itu penting agar wilayah kelola adat dapat dijalankan secara sah dan berkeadilan,” tambahnya.
Dikatakannya, kopi tidak bisa hanya dipandang sebagai sumber penghidupan masyarakat, tetapi juga sebagai bagian dari solusi iklim dan perlindungan ekosistem hutan. Upaya yang dilakukan selama ini adalah mendorong masyarakat menerapkan pendekatan organik, menjaga tutupan vegetasi sebagai penyerap karbon dan lainnya.
Saat ini, lanjutnya, masyarakat juga menghadapi tantangan besar dalam hal kesuburan tanah dan pengendalian hama. Menurutnya, pelatihan pembuatan pupuk organik yang sudah dilakukan, diharapkan bisa terus dilakukan oleh masyarakat.
“Kita tahu sulit lepas dari pupuk kimia. Tapi kita minimalisir penggunaannya. Bahan-bahan untuk pupuk organik ada di alam sekitar sehingga murah dan mudah dibuat. Nah, pupuk organik terbukti mampu memperbaiki struktur tanah, meningkatkan mikroorganisme, serta mengurangi jejak karbon dalam proses budidaya. Sedangkan pupuk kimia tentunya meninggalkan residu yang bisa mencemari tanah dan juga mata air,” katanya.
Dijelaskannya, dalam banyak riset yang sudah dilakukan perubahan iklim berdampak pada persebaran hama dan penyakit tanaman. Pada tanaman kopi, ada hama penggerek buah yang berpengaruh pada produktivitas.
Sebagai pendamping, Green Justice Indonesia dan AMAN mengembangkan strategi pengendalian hama berbasis ekologi yang tidak mengandalkan pestisida kimia, tetapi dengan pendekatan terpadu seperti diversifikasi tanaman, penggunaan pestisida nabati, serta rotasi lahan.
Pendamping masyarakat dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Marlina Pasaribu mengatakan, pihaknya mendampingi masyarakat di sini selain untuk menguatkan dari sisi pemberdayaan melalui kopi, juga sebagai respon persoalan yang dihadapi masyarakat selama ini, yakni berhadapan dengan korporasi.
Pendampingan ini penting karena pengetahuan masyarakat adat di sini terkait budidaya kopi dan juga hukum masih perlu ditingkatkan. “Dulu masyarakat berhaminjon, sekarang tidak bisa lagi. Dulu kopi produksinya bagus, lalu karena ada perusahaan, di sana ada penyemprotan, jadi hamanya ke kebun petani,” katanya.
Pendamping petani kopi, Raja Banggas Rambe mengatakan, kegiatan yang dilakukan di desa ini merupakan pertemuan keempat oleh GJI bersama AMAN. Kegiatan ini adalah tindak lanjut dari pelatihan sebelumnya yang memadukan teori dan praktik langsung, baik di kebun maupun di rumah-rumah warga.
“Pertemuan ini membahas tentang bisnis kopi berkelanjutan. Kami belajar bagaimana petani mengelola kopi dari kebun hingga menjadi green bean, termasuk proses ceri, gabah, dan pengolahan asalan,” ujarnya.
Selama ini petani menjual kopi dalam bentuk gabah kepada tengkulak dengan harga rendah, tanpa memilah kualitas ataupun mengolahnya lebih lanjut. Padahal, jika dikelola menjadi green bean atau bubuk, nilai ekonominya bisa meningkat tajam.
“Setiap daerah memiliki cita rasa kopi yang unik. Dan kopi dari Simenakhenak punya karakter yang kuat. Tapi kita belum terbiasa mengelola kopi sendiri, apalagi sampai menjadi produk akhir,” katanya.
Dijelaskannya, hasil penghitungan kasar menunjukkan pengelolaan kopi secara organik dan berkelanjutan memberikan nilai lebih besar dibandingkan hasil dari eksploitasi kayu yang dilakukan perusahaan. Selain lebih ramah lingkungan, ekonomi dari kopi juga menghidupi lebih banyak orang tanpa merusak tanah dan ekosistem.
“Masyarakat di sini masih merasa dipandang sebelah mata. Seharusnya ada kejelasan dan perlindungan atas wilayah adat yang sudah jelas mereka perjuangkan,” ujarnya.
Ia berharap pemerintah tidak hanya hadir secara seremonial, tetapi juga memberikan dukungan nyata dalam bentuk perlindungan hukum, akses terhadap pasar, pengetahuan, dan sarana produksi yang layak.
“Bukan hanya perusahaan yang harus dipercaya mampu memberi dampak ekonomi. Petani juga mampu, bahkan dengan cara yang lebih adil dan lestari,” ujarnya.
Editor : Jafar Sembiring