get app
inews
Aa Text
Read Next : Dorong Pertumbuhan Wisata Olahraga, 1.200 Peserta Ikut Oil Palm Marathon GAPKI di Sergai

RSI: Penetapan Kawasan Hutan Tak Bisa Berdasarkan Surat Penunjukan

Rabu, 19 Februari 2025 | 19:13 WIB
header img
Ketua Umum Rumah Sawit Indonesia (RSI), Kacuk Sumarto. Foto: Ist

MEDAN, iNewsMedan.id - Surat Keputusan (SK) Menteri Kehutanan Nomor 36 Tahun 2025 tentang Daftar Subjek Hukum Kegiatan Usaha Perkebunan Kelapa yang Telah Terbangun dalam Kawasan Hutan, tidak dapat dijadikan dasar untuk menentukan apakah perkebunan kelapa sawit tersebut beroperasi di dalam kawasan hutan.

Lebih lanjut, banyak perusahaan sawit yang masuk dalam daftar SK 36 tersebut sudah memiliki legalitas lahan yang sah, seperti Hak Guna Usaha (HGU) yang dikeluarkan oleh Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN).

"Ada kebun yang HGU-nya sudah diperpanjang, namun masuk dalam daftar SK 36. Seharusnya, SK yang bersifat penunjukan tidak bisa menjadi dasar untuk penetapan kawasan hutan. Perlu dilakukan verifikasi lapangan, pengukuran, dan proses lainnya," ujar Ketua Umum Rumah Sawit Indonesia (RSI), Kacuk Sumarto kepada wartawan di sela-sela Konferensi Internasional RSI di Medan (19/2/2025) dengan tema "Indonesia’s Agricultural Industry Policies and The New European Union Regulation on Deforestation-Free Products: Tantangan dan Peluang".

Kacuk menjelaskan bahwa SK Penunjukan Kawasan Hutan tidak dapat digunakan sebagai dasar untuk menetapkan suatu lahan sebagai bagian dari kawasan hutan. Mengacu pada Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, khususnya Pasal 15, Penunjukan Kawasan Hutan adalah langkah awal dalam proses penetapan Kawasan Hutan yang melalui empat tahap.

"Issuance SK Menhut No. 36 tahun 2025 tentang Daftar Subjek Hukum Kegiatan Usaha Perkebunan Kelapa yang Telah Terbangun dalam Kawasan Hutan, perlu diperiksa lebih lanjut, dasar pengenaannya apakah SK Penunjukan atau SK Penetapan. Jika hanya SK Penunjukan, tentu tidak sah untuk menyatakan bahwa suatu lahan termasuk kawasan hutan," kata Kacuk.

Kacuk menekankan bahwa masyarakat yang memiliki basis hak yang kuat (SHM, HGB, atau HGU) harus bersikap tegas dalam menggugat. "Jangan sampai ada kriminalisasi terhadap masyarakat yang memiliki hak-hak legal. Pemerintah boleh mengambil kembali lahan untuk kepentingan umum seperti pembangunan jalan, waduk, atau fasilitas umum lainnya, tetapi harus menghormati hak-hak perdata masyarakat yang berada di dalam lahan tersebut.

Konferensi ini menghadirkan pakar komoditas dan praktisi industri global sebagai pembicara, termasuk Prof Dr. Rizaldi Boer (IPB University), Jelmen Haaze (Commodity Senior Expert - PWC Belgium), Suwanto Gullit (Business Operational Sustainability Manager for Palm, Unilever Oleochemical Indonesia), dan Ku Kok Peng (Chief Sustainability Officer, Kuala Lumpur Kepong Berhad).

Kacuk menyatakan bahwa inkonsistensi dalam kebijakan pemerintah terkait penetapan kawasan hutan akan berdampak secara global. Ketika pelaku usaha dan petani kelapa sawit telah berkomitmen untuk mematuhi semua peraturan dan menerapkan tata kelola yang berkelanjutan, pemerintah justru menuding bahwa perkebunan sawit berada di kawasan hutan.

"Hal ini akan semakin mempersulit minyak sawit untuk masuk ke pasar Eropa. Orang-orang Eropa akan mengatakan, pemerintah Indonesia sendiri mengakui bahwa ada kebun sawit di kawasan hutan," ungkap Kacuk.

Menurut Kacuk, bagi pelaku usaha dan petani sawit, SK 36 Menhut tidak masuk akal. Bahkan ada beberapa perusahaan yang HGU-nya sudah diperpanjang, namun tetap masuk dalam daftar perkebunan yang dikategorikan sebagai kawasan hutan.

"Beberapa perusahaan perkebunan bahkan sudah menggugat SK Menhut terkait penunjukan kawasan hutan dan gugatannya dikabulkan. Mengapa dikabulkan? Karena SK penunjukan tidak dapat dijadikan dasar yang sah untuk menyatakan bahwa lahan tersebut berada di dalam kawasan hutan, apalagi dituduh melakukan deforestasi," katanya.

Kacuk menegaskan bahwa RSI mendukung penuh upaya pemerintah dalam memberantas illegal logging. Namun, untuk perusahaan perkebunan yang bersih dan mematuhi semua peraturan, seharusnya tidak disamakan perlakuan.

Editor : Vitrianda Hilba SiregarEditor Jakarta

Follow Whatsapp Channel iNews untuk update berita terbaru setiap hari! Follow
Lihat Berita Lainnya
iNews.id
iNews Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik lebih lanjut