Dari tambak, Sawit hingga Dapur Arang
Dapur arang bakau di Pangkalan Susu. (Foto: Istimewa)
Beberapa waktu lalu, pakar tropical ecology and biodiversity conservation, Fakultas Kehutanan, Universitas Sumatera Utara, Onrizal., PhD mengatakan berbicara deforestasi mangrove bisa dimulai dari massifnya usaha pertambakan udang dan ikan pada tahun 1970-an.
Usaha pertambakan udang dan ikan itu meredup seiring munculnya penyakit/hama dan sulit dikendalikan hingga kini. Usaha pertambakan di wilayah pesisir menuntut alih fungsi hutan mangrove yang menjadi pelindung pantai dari abrasi. Setelah tambak, yang menjadi penyebab deforestasi di hutan mangrove ini adalah perkebunan kelapa sawit.
"Kita bisa lihat sendiri di Langkat, Deli Serdang, Serdang Bedagai sampai Labuhanbatu, yang dulunya tambak berubah jadi sawit. Ada juga yang dulunya hutan mangrove, dibabat jadi kebun sawit. Tekanan lainnya adalah arang bakau," katanya.
Di banyak hasil penelitian yang ditulisnya, Onrizal mengatakan, fungsi hutan mangrove sangat banyak dan manfaatnya dirasakan tak hanya manusia tetapi juga bagi keberlanjutan ekosistem pesisir dan laut. Banyak biota yang hidupnya tergantung pada kualitas mangrove.
Secara ekologis, mangrove ini menjadi pelindung pantai dari abrasi, kemudian menjadi habitat berbagai jenis hewan, serta tempat hidup atau habitat bagi banyak tumbuhan atau flora. Kalau rusak, maka kerugian yang dialami tidak bisa dihitung. Kerusakan itu sudah terjadi di mana-mana.
"Tak hanya nelayan tradisional dan masyarakat sekitar yang merasakan kerugian. Kita semua pun rugi besar karena 2/3 biota perairan itu hidupnya tergantung pada kualitass mangrove," katanya.
Beberapa hal penting yang harus segera dilakukan yakni mempertahankan hutan mangrove yang tersisa dan menghentikan laju deforestasi. Seiring dengan itu, harus dilakukan pemulihan secara terintegrasi. Berbagai kajian juga masih harus dilakukan begitu juga dengan kampanye pengelolaan mangrove secara berkelanjutan.
"Kalau tidak dilakukan, tidak lama lagi kita akan semakin banyak kehilangan. Yang tersisa tinggal sedikit dan kritis," katanya.
Kondisi Darurat dan Dugaan Pembiaran
Direktur Green Justice Indonesia, Dana Prima Tarigan mengatakan, kondisi di pesisir sudah kritis dan darurat. Penanganannya harus segera. Menurutnya, tidak perlu penelitian mendalam untuk melihat dampak kerusakan di pesisir timur karena sudah terlihat nyata di depan mata.
"Ini kondisinya sudah darurat, jangan menunggu waktu untuk menanganinya. Sudah di depan mata dampaknya. Tak perlu riset mendalam untuk mengetahui kerusakannya. Kalau tidak, sudah pasti akan semakin jauh abrasi mengancam warga di pesisir," katanya.
Sampai saat ini tidak ada pembahasan apalagi langkah konkret dari pemerintah kabupaten, provinsi maupun nasional untuk menangani kerusakan itu. Menurutnya, sudah banyak masyarakat pesisir yang kehilangan mata pencahariannya mencari kepiting, udang, ikan, kepah dan lain sebagainya yang selama ini bisa dengan mudah mereka dapatkan di dekat bibir pantai.
Itu karena mangrovenya masih lestari. "Kita tidak menemukan ada rencana konkrit dan terukur bagaimana menangani ini. Tidak ada mitigasi. Kalau dibiarkan semuanya akan terkikis. Akan semakin banyak yang menjadi korban," katanya.
Di Pantai Labu, Deli Serdang, pengerukan pasir di tahun 2008 sangat berdampak bagi masyarakat. Ratusan meter daratan dan hutan mangrove yang dulunya lestari kini sudah lenyap. Banyak hidupan air yang menggantungkan hidup dari lestarinya mangrove kini hilang. Penghidupan nelayan pun sirna.
"Kerusakan itu bermula dari pengerukan pasir, akibatnya abrasi hebat tak terelakkan. Ini ancaman berbahaya bagi masyarakat karena sewaktu-waktu tanpa mereka sadar mereka sudah tergusur," katanya.
Menurutnya, masyarakat pesisir yang menjadi korban kerusakan mangrove ditinggalkan begitu saja oleh pemerintah. Negara tidak hadir dalam persoalan yang dihadapi oleh masyarakat yang menunggu waktu air laut semakin masuk ke rumahnya merenggut daratan yang mereka miliki.
"Dampak yang parah ini sesuatu yang tidak disangka-sangka mereka. Jangan juga menyalahkan alam karena ini terjadi akibat tindakan yang sebenarnya tidak boleh dilakukan di pesisir," katanya.
Menurutnya, tidak sedikit yang dulunya nelayan beralih profesi menjadi buruh kapal milik cukong atau bahkan menjadi buruh bangunan dan pekerjaan lain yang di luar aktivitas di laut. "Nelayan semakin terhimpit. Tidak heran jika kemudian pesisir itu menjadi salah satu kantong kemiskinan. Mereka dibiarkan dan ditinggalkan sendiri dengan abrasi akibat aktivitas merusak orang lain," katanya.
Dana mencurigai sudah ada pembiaran terhadap nelayan agar semakin lemah sehingga sektor kelautan dikuasai dan dimonopoli oleh pemodal-pemodal besar. "Kita mencurigai ini memang pembiaran nelayan ini terus berkurang dan bisa dikuasai oleh pemodal-pemodal besar untuk memonopoli rantai ikan di Indonesia atau di Sumatera Utara. Membiarkan masyarakat tergusur, dimiskinkan dengan kerusakan ekologi," katanya.
Kerusakan mangrove menjadi salah satu faktor yang memperburuk perubahan iklim. Dikatakannya, mangrove menyerap karbon dioksida (CO2) dari atmosfer dan menyimpannya di dalam tanah dan vegetasinya. Karena itu rusaknya mangrove berakibat pada lepasnya karbon yang disimpan sehingga CO2 di atmosfer meningkat.
"Akibat lain hilangnya mangrove, pantai lebih rentan terhadap kerusakan akibat badai dan naiknya permukaan laut, dampak dari perubahan iklim," katanya.
Editor : Odi Siregar