get app
inews
Aa Read Next : ATARU Mall Hadir di Delipark Medan, Tawarkan 4.000 Produk Favorit Generasi Muda

Climate Action Day 2023, Generasi Muda Diimbau Melek Terhadap Isu Perubahan Iklim

Minggu, 10 Desember 2023 | 19:35 WIB
header img
Climate Action Day 2023, Generasi Muda Diimbau Melek Terhadap Isu Perubahan Iklim. (Foto: iNewsMedan/Odi Siregar)

MEDAN, iNewsMedan.id - Generasi muda diimbau agar berpartisipasi aktif dalam mengambil tindakan konkret untuk melawan perubahan iklim.

Sebab, dampak dari fenomena global ini dapat mengubah kebiasaan, pola hidup, kebijakan, ekonomi, sosial, dan budaya bagi masyarakat yang terdampak perubahan iklim.

Hal itu diungkapkan oleh Direktur Yayasan KKSP, Maman Natawijaya, pada Gelaran Climate Action Day 2023 yang berlangsung di Gelanggang Mahasiswa USU, Jalan Dr Mansyur, Kecamatan Medan Baru, Kota Medan, Minggu (10/12/2023).

"Climate Change Day 2023 ini merupakan gagasan yang ditujukan bagi perubahan, terutama di kalangan anak-anak muda. Harapannya, mereka melakukaan perubahan dengan membuat kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan perubahan iklim dengan cara mereka sendiri," ujarnya.

"Kemudian, bagaiamana anak-anak muda melihat lingkungan sekitarnya, terkait soal kebersihan, polusi udara, dan kebiasaan-kebiasaan masyarakat terkait dengan buang sampah sembarangan," tambahnya.

Direktur Eksekutif Green Justice Indonesia, Dana Pratama Tarigan, mengimbau para generasi muda harus melek terhadap isu perubahan iklim. Mengingat, dampak yang ditimbulkan bisa merugikan seluruh kalangan.

"Karena, anak-anak muda ini yang sangat terancam hidupnya karena politik investasi yang sangat rakus ruang, yang tidak berorientasi terhadap antar generasi dan itu harus dipahami oleh anak-anak muda kita, karena mereka saat ini menjadi korban," ucapnya.

"Mereka semua saat ini menjadi korban karena praktik pengelolaan investasi atau pengelolaan negara kita hari ini yang tidak berorientasi pada hak asasi manusia antar generasi," tegasnya.

Guna mengantisipasi hal itu, Dana Pratama Tarigan, mengimbau para generasi muda turut bergerak menyuarakan soal krisis iklim kepada masyarakat. 

"Kita berharap dengan cara-cara kreatif seperti ini, mereka paham dan mulai berbuat, sekecil apapun itu tetap akan berharga pada saat ini," sebutnya.

"Dan ini akan rutin kita lakukan sebagai saran informasi. Begitu juga, bagaimana menggugah hati kita semua untuk melakukan gerakan penyelamatan lingkungan hidup, dan melek terhadap isu-isu perubahan iklim yang terjadi saat ini," jelasnya.

Komisioner Komisi Nasional Hak Azasi Manusia (Komnas HAM), Saurlin Siagian, menegaskan bahwa perubahan iklim merupakan tantangan pasca Covid-19 beberapa waktu lalu.

"Pasca covid 19 krisis yang paling berat dihadapi dunia dan Indonesia sebenarnya adalah perubahan iklim jadi ini tantangan paling besar yang ada pada abad ini dan harus menjadi tanggung jawab semua pihak," katanya.

Ia juga menambahkan, korban dari krisis iklim mulai dari petani yang sudah kehilangan arah dalam menentukan musim tanam. Kemudian, nelayan tradisional yang kehilangan kemampuan menavigasi sumber-sumber ikan. Lalu, pulau-pulau kecil sudah banyak yang tenggelam, serta hutan banyak yang sudah hilang, dan persebaran jenis penyakit yang baru.

"Secara umum dunia sudah mengakui bahwa ini adalah problem terbesar yang akan dihadapi oleh manusia. Waktu kita sudah sangat sempit bahkan banyak pihak yang sudah menganggap kita sudah kehabisan waktu dengan perubahan iklim yang terjadi saat ini ini seperti truk di jalan menurun yang tidak punya rem," ungkapnya.

Disebutkannya, Komnas HAM telah menerima banyak pengaduan dari korban krisis iklim. Namun, pihaknya belum memiliki instrumen dan mekanisme atas aduan tersebut.

Saurlin menyebut, korban krisis iklim yang sudah melapor berasal dari Jakarta, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi dan lainnya. Bahkan, ia memprediksi laporan soal krisis iklim bakal mengalami peningkatan.

"Tetapi kita belum punya instrumen yang memadai untuk meresponnya. Oleh karena itu Komnas HAM menyiapkan suatu mekanisme dan instrumen untuk memastikan korban iklim bisa mengadukan nasibnya ke lembaga negara seperti Komnas HAM dan untuk diurus oleh negara nantinya," ungkapnya.

Soal kasus krisis iklim direspon secara kasus per kasus, menurut Saurlin, harus ada respons strategis yang menghadirkan rekomendasi untuk menyiapkan instrumen HAM.

"Jangan sampai proyek-proyek pembangunan dalam konteks transisi energi ini minus HAM, seperti apa yang kita alami selama. Proyek strategis nasional minus HAM. Termasuk IKN," katanya.

Terkait kasus IKN, lanjut Saurlin, Komnas HAM menemukan banyak masyarakat adat yang tidak mendapatkan perhatian yang serius dari pemerintah. Ia menilai pemerintah hanya fokus pada pembangunan infrastruktur dan percepatan pembangunan gedung-gedung, jalan, dan bandara.

"Tapi kita lupa di sana ada banyak masyarakat adat dan menurut saya idealnya IKN itu harus merayakan eksistensi masyarakat adat. Kalau itu terjadi, itu akan menjadi sesuatu yang menarik bagi kita," jelasnya.

Kendati begitu, Saurlin masih melihat hal postif atas pembangunan IKN. Menurutnya, IKN bisa menghadirkan kekhasan budaya dan lingkungan agar tampak lebih menarik sebagai ibu kota baru nantinya. Hal tersebut bisa terjadi jika ada penghargaan terhadap masyarakat adat.

"Kita sudah merekomendasikan bahwa belasan masyarakat adat di sana harus mendapatkan perhatian, dilindungi dan dilestarikan," katanya.

Sementara itu, pemerhati masyarakat adat dan peraih penghargaan Magsasay Award 2017 kategoru Community, Abdon Nababan, menjelaskan bahwa korban krisis iklim tidak hanya ada di Indonesia melainkan di seluruh dunia.

Maka dari itu, Abdon memberikan solusi agar terhindar dari krisis iklim, yakni memanfaatkan tiga sumber daya yang dimilki oleh Sumatera Utara.

"Secara kebudayaan, suku-suku kita beragam dan punya identitas budaya yang sangat spesifik. Karena perjalanan yang historik selama ratusan hingga ribuan tahun, mereka sudah punya sistem pengetahuan dan praktek-praktek pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan. Kalau ini kita konsolidasikan sebagai modal sosial," ujarnya.

Ia juga berharap anak-anak muda yang menjadi motor penggerak dalam menjalankan solusi untuk krisis global tersebut.

"Kita semua ini khususnya anak-anak muda harus menolak menjadi korban dengan bekerja secara kreatif melihat potensi yang kita punya. Sumber daya air kita luar biasa. Danau Toba sebagai danau vulkanik terbesar di dunia itu mengandung fresh water yang sangat mungkin orang akan memperebutkannya dengan kekerasan sekalipun," ucapnya.

Sehingga, lanjut Abdon, harus ada upaya melindunginya. Begitu juga dengan sungai-sungai yang dengan teknologi sederhana zaman sekarang bisa menjadi sumber energi terbarukan, dan menjadi solusi terhadap energi fosil.

Ia juga mengaku optimis bahwa setiap kampung memiliki sumber daya yang sangat kaya untuk melahirkan energi terbarukan. Atas hal itu, dia mendorong lahirnya kampung solusi iklim dan anak-anak muda harus mau pulang ke kampungnya dengan pengetahuan yang dia dapat.

"Karena apa sekarang kita mau berbuat apapun bisa karena teknologinya sudah ada di handphone. Memasarkan apapun yang kita produksi di kampung bisa. Menjadi YouTuber pun bisa dari kampung. Menurut saya sumber dari perubahan iklim yang tidak terkendali ini adalah kota-kota yang terindusterilisasi terlalu tinggi sementara desa-desa kita ditinggalkan. Kampung bisa menjadi ujung tombak pembangunan nasional," tuturnya.

Untuk menggerakkan hal tersebut, desa-desa harus dibekali dengan budget yang cukup. Di mana, dana desa senilai uang Rp1,4 miliar harus dinaikan dua atau tiga kali supaya dengan investasi yang cukup di desa, maka penciptaan lapangan pekerjaan juga akan lebih banyak di desa.

Hal itu, sambung Abdon, telah diriset selama puluhan tahun dan mendapatkan bahwa kearifan lokal bisa menjadi referensi dalam banyak perundingan internasional.

"Artinya secara faktual kita masih punya solusi itu di lapangan tapi kita sendiri merasa solusi orang lain jauh lebih hebat daripada yang kita punya. Dan saya sangat yakin dengan itu. Ini soal jati diri sebenarnya ini soal kebanggaan menjadi bangsa Indonesia menjadi orang-orang adat," katanya.

Lebih lanjut, ia menambahkab bahwa banyak kalangan intelektual tidak melihat kearifan lokal sebagai solusi padahal sudah tidak tersedia pilihan lain. Mungkin saja ada pilihan solusi dari Amerika atau di China, tetapi tidak dikuasai dan justru pilihan itu yang diambil makanya banyak lahan-lahan yang kemdudian dikuasai oleh asing.

"Tanah air kita, energi terbarukan kita dikuasai lewat investasi. Itu yang saya khawatirkan," pungkasnya.

Sebagai informasi, Climate Action Day 2023 merupakan acara yang digelar oleh Green Justice Indonesia dan Yayasan KKSP dengan dukungan kokoh dari Child Rights Coalition Asia (CRC Asia) melalui program SHIFT Campaign "Children's Right to A Healthy Environment". 

Editor : Odi Siregar

Follow Berita iNews Medan di Google News Lihat Berita Lainnya
iNews.id
iNews Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik lebih lanjut