Selain anak-anak, lanjut Supriatna, masyarakat juga terpaksa menggunakan jalan tersebut untuk menuju ke wilayah Kabupaten Garut, sebagai daerah yang menerima hasil bumi dari desanya, seperti padi dan rempah-rempah. "Sedangkan jika melewati akses jalan lain, harus memutar dengan jarak 5 km. Kalau lewat jembatan itu, hanya 3 km saja," ujarnya.
Meski tercatat tidak ada korban jiwa saat melintas di jembatan bambu tersebut, namun diakui Supriatna kondisi melintasi jembatan bambu tanpa penerangan tersebut, juga bisa menjadi berbahaya jika masyarakat tidak fokus saat melintas di atas Sungai Cilaki itu.
"Sebetulnya berbahaya, utamanya saat hujan. Luapan banjir Sungai Cilaku, juga sering kali terjadi sangat deras. Mereka yang mengendarai sepeda motor, butuh keberanian dan keahlian khusus untuk bisa melintasi jembatan bambu tersebut," ungkapnya.
Pemdes Cibuluh, tegas Supriatna tidak tinggal diam, sejak masa kepimpinannya berulang kali membuat pengajuan untuk perbaikan. Namun hingga kini realisasi pembangunan tak kunjung terjadi.
Saat ini Pemdes Cibuluh, dan masyarakat hanya bisa melakukan perbaikan tambal sulam secara swadaya dalam kurun waktu 3-4 bulan sekali. "Kalau disebut bosan mengajukan, tentu tidak. Berbagai upaya untuk mendapatkan bantuan perbaikan jembatan ini, terus dilakukan ke Pemkab Cianjur, dan pemprov Jabar," pungkasnya.
Artikel ini telah terbit di halaman SINDOnews.com dengan judul Anak-anak SD di Cianjur Bertaruh Nyawa Seberangi Sungai Cilaki Demi Bisa Sekolah
Editor : Odi Siregar