MEDAN, iNewsMedan.id - Bank Indonesia (BI) telah menerbitkan white paper Central Bank Digital Currency (CBDC) atau Rupiah Digital. "Kami meluncurkan Rupiah Digital yang dinamakan 'Proyek Garuda'," kata Gubernur BI, Perry Warjiyo dalam kegiatan Pertemuan Tahunan BI 2022.
Perry menuturkan, Proyek Garuda itu akan dikembangkan dalam tiga tahapan. Pertama, yaitu dengan mengembangkan Rupiah Digital untuk segmen wholesale.
"Kami mengimplementasikannya dalam tiga tahap, mulai dari wholesale Digital Rupiah untuk model bisnis penerbitan dan transfer antarbank dengan digital rupiah,” ujarnya, Kamis (1/12/2022).
Untuk tahapan kedua, pengembangan Rupiah Digital akan diperluas dengan bisnis operasi moneter dan pasar uang. Sementara itu, pada tahap akhir, BI akan mengembangkan integrasi rupiah digital pada segmen wholesale rupiah dengan ritel secara end-to-end.
Akhirnya, integrasi wholesale rupiah digital dengan ritel secara end-to-end, tentu saja dengan sinergi dan kolaborasi secara nasional dan internasional,” pungkas Perry.
Terpisah, Pengamat Ekonomi Sumut, Gunawan Benjamin menjelaskan, sejak kripto muncul dan menjadi perbincangan banyak masyarakat, dan banyak pula yang turut memperjual belikannya. Beberapa dari mereka yang menawarkan kripto, menyatakan bahwa kripto ini sebagai mata uang digital. Bahkan, kedepan mata uang kripto (merek tertentu) ini akan menjadi mata uang internasional. Sehingga diklaim akan jadi mata uang yang menggantikan mata uang yang beredar di banyak Negara termasuk Indonesia.
Bagi sebagian orang yang awam dengan uang digital, berpeluang sangat mudah ditanamkan klaim seperti itu. Sayangnya istilah uang digital ini juga menjadi suatu hal yang baru ditengah masyarakat kita. Sehingga akan ada banyak orang yang mudah percaya dengan klaim seperti itu.
"Padahal saya berpendapat kripto itu sebagai komoditas investasi atau bahkan komoditas spekulasi bagi sebagian orang, bukan bertindak sebagai uang digital resmi," jelasnya.
Gunawan mengungkapkan, BI yang menerbitkan atau mencetak uangnya, lantas distribusinya dilakukan lewat Bank umum. Nah, pengusaha tadi meminjam uang ke Bank umum. Lantas dengan uang tersebut pabrik dibangun, pengusaha menciptakan lapangan kerja, sehingga pengangguran turun, ekonomi berputar dan kemiskinan bisa ditekan.
Kemudian, disaat kemiskinan turun, maka kriminalitas bisa berkurang sehingga tatanan sosial ekonomi masyarakat berjalan dengan baik. Jadi uang hadir sebagai pendorong kegiatan ekonomi. Sehingga, kripto tidak bisa melakukan hal yang serupa dengan uang rupiah tadi. Bahkan sampai saat ini, ada aset kripto yang masih menjadi misteri, yaitu kita tidak tahu siapa yang menerbitkan kripto tersebut.
Tentunya suatu hal yang konyol kalau kita menggantungkan kedaulatan Negara dengan menggunakan alat pembayaran kripto. Karena saat rupiah dicetak atau diterbitkan, ada otoritas bernama Bank Indonesia yang bertanggung jawab. Jadi bayangkan kalau seandainya kita semua menaruh asset dalam kripto. Memperjual belikannya, atau menjadikannya sebagai alat pembayaran.
"Tiba-tiba kita dihadapkan dengan ancaman resesi 2023 atau kita dihadapkan pada inflasi tinggi seperti saat ini. Tentunya dengan aset kripto tidak bisa melakukan pengendalian inflasi, mengatur jumlah uang yang beredar atau hal hal lain yang dibutuhkan untuk kembali mendudukkan kondisi ekonomi dalam posisi yang stabil. Terlepas dari masalah legalitas kripto di suatu Negara tentunya," ungkapnya.
Jadi sangat jelas, tidak bisa disamakan sama sekali. Kalau MUI telah menetapkan fatwa haram bagi aset kripto sebagai mata uang karena ada unsur gharar, dharar dan qimar. Dan jangan juga menyamakan bahwa Rupiah digital juga haram. Ini pemahaman yang keliru, karena selalu menyamakan istilah mata uang kripto (cryptocurrency) dengan mata uang (digital) yang sah yang berlaku di suatu Negara. Rupiah digital itu sama aja dengan uang kertas/logam, hanya beda bentuk saja.
Editor : Odi Siregar