TAPTENG, iNewsMedan.id - Barus merupakan kota tertua di Sumatera Utara (Sumut). Lokasinya berada di Kabupaten Tapanuli Tengah.
Dalam portal resmi Pemkab Tapteng, disebutkan, Kecamatan Barus berada di titik koordinat 02° 02’05” - 02° 09’29” Lintang Utara, 98° 17’18” - 98° 23’28” Bujur Timur. Luas wilayahnya mencapai 21,81 kilometer persegi dan dihuni oleh 18.919 jiwa berdasarkan data tahun 2020.
Barus disebutkan menjadi salah satu kota tertua di Sumatera Utara bahkan di Indonesia. Dalam sebuah literatur sejarah banyak menyebutkan bahwa agama Islam di Indonesia pertama kali juga hadir di Barus.
Berikut rangkuman kota tertua di Sumatera Utara;
Sejarah masuknya Islam di Indonesia
Titik Nol Islam di Barus (Foto: Antara)
Keberadaan makam tua di kompleks pemakaman Mahligai, Barus pada abad ke-7 menjadi salah satu bukti awal masuknya Islam di Indonesia lewat daerah tersebut. Di batu nisannya tertulis Syekh Rukunuddin wafat tahun 672 Masehi atau 48 Hijriyah, menguatkan adanya komunitas Muslim pada masa itu.
Barus berjarak 290 kilometer dari Kota Medan, ibu kota Sumatera Utara. Jika ditempuh melalui jalur darat memakan waktu sekitar 7 jam perjalanan. Dari Kota Sibolga, butuh waktu perjalanan darat sekitar 2 jam saja. Barus merupakan tempat bersejarah dan saat ini menjadi salah satu tujuan wisata religi di Sumatera Utara. Sayangnya, masih banyak masyarakat yang belum mengenal Barus karena minimnya informasi mengenai kota tua tersebut.
Ditemukan benda-benda kuno
Fakta Barus Kota Tertua di Sumatera Utara, Kompleks Makam Mahligai (Foto: Instagram/Makam Mahligai)
Bukti Barus kota tertua di Sumatera Utara yakni daerah ini banyak menyimpan benda-benda kuno bersejarah seperti perhiasan, mata uang dari emas dan perak, prasasti dan fragmen arca. Selain itu, terdapat makam para auliya dan ulama penebar Islam di Indonesia abad ke-7 silam. Di antaranya Makam Papan Tinggi, Makam Mahligai, Makam Syekh Mahdun, Makam Syekh Ibrahim Syah, Makam Tuan Ambar, Makam Tuan Syekh Badan Batu.
Posisi Barus yang terletak di pinggir Pantai Barat Pulau Sumatera dan berhadapan langsung dengan lautan lepas Samudra Hindia membuatnya dikenal oleh dunia pada abad ke-7. Apalagi berkat hasil hutannya, kamper, kemenyan dan emas, Barus menjadi kota yang kerap dikunjungi banyak saudagar-saudagar di seluruh dunia.
Penyebutan Barus
Fakta Barus Kota Tertua di Sumatera Utara, Titik Nol Islam (Foto: Instagram/Wahidin Luthfie)
Nama Barus juga muncul dalam sejarah perabadan Melayu lewat Hamzah Fansyuri, penyair sufi terkenal. Barus juga dikenal dengan nama Pancur, kemudian diubah ke dalam bahasa Arab menjadi Fansur. Dalam buku “Barus Seribu Tahun yang Lalu” yang ditulis arkeolog Perancis, Claude Guillot dibantu beberapa penulis lainnya menyebutkan, Barus termasuk dalam golongan kota-kota kuno yang terkenal di seluruh Asia sejak abad ke-6 Masehi. Di bab terakhir buku itu disebutkan, ada sebuah tempat di perbukitan Barus yang oleh masyarakat setempat perlu mendapatkan perhatian khusus.
Bukti Barus kota tertua di Sumatera Utara juga terilihat dari makam terpencil yang ditandai dengan dua batu nisan vertikal ini dipercaya sebagai makam seorang wali. Yang dimaksud makam “Papan Tinggi” yang memang berada di atas bukit setinggi 215 meter di atas permukaan laut.
Untuk menuju makam itu harus melewati 730 anak tangga. Konon di makam ini, ada sebuah guci yang airnya terus ada meskipun musim kemarau. Namun belakang guci itu pecah karena tidak terawat. Dari sisi bahasa, hampir di setiap batu nisan utama bertuliskan bahasa Arab. Hal ini sangat jarang ditemukan, bukan hanya di Barus tetapi di seluruh Nusantara pada umumnya.
Tercatat dalam buku
Fakta Barus Kota Tertua di Sumatera Utara, Tercatat Dalam Buku (Foto: Instagram/Imam Ahmad Asy Syafii)
Jika mengulas sekilas sejarah kota tua Barus, Claude Guillot menguraikannya dalam buku “Lobu Tua: Sejarah Awal Barus”. Buku ini merupakan usaha memecahkan rahasia sejarah Barus sudah dilakukan sejak hampir satu setengah abad lalu, khususnya dalam bidang epigrafi dan pembahasan sumber-sumber tertulis. Buku ini secara tidak langsung menyebutkan Barus kota tertua di Sumatera Utara.
Namun, penelitian yang mendalam di lapangan baru mulai dilakukan pada akhir tahun 1980-an atas usaha Pusat Penelitian Akeologi Nasional. Kemudian pada tahun 1995, berkat persetujuan Prof Dr Hasan M. Ambary (ketika itu menjabat sebagai kepala lembaga PPAN), bersama Ecole francaise d’Ectreme-Orient diluncurkan sebuah program penelitian arkeologi di Barus, khususnya di Lobu Tua dimana pernah ditemukan banyak benda-benda kuno. Memang, banyak pertanyaaan muncul berkaitan dengan sejarah kuno Kota Barus, seperti kapan kotanya didirikan dan lokasi nama tempat Barus yang disebut dalam beberapa sumber awal.
Namun, pada tahun 1995 di Desa Lobu Tua, daerah sekitar Barus terdapat sebuah spanduk bertuliskan “Dirgahayu ke-50 negaraku dan Dirgahayu ke-5000 desaku”. Saat itu, Kepala Desa Lobu Tua menjelaskan bahwa ulang tahun desa ini didasari perkiraan seorang ahli sejarah dari daerah ini.
Versi lain Barus
Fakta Barus Kota Tertua di Sumatera Utara, Kompleks Makam Mahliga (Foto: Instagram/Kompleks Makam Mahliga)
Sedangkan pandangan lain menyebutkan bahwa Barus adalah pelabuhan tertua di Indonesia. Dalam karya geografis Ptolemaeus tercatat lima pulau yang dinamakan “Barousai”, nama yang dikaitkan dengan Barus oleh para ahli sejarah. Sejak abad ke-6 Masehi, kamper sudah dikenal di berbagai kawasan mulai dari negeri Tiongkok hingga ke kawasan Laut Tengah.
Nama Barus sudah lama muncul apabila diterima pendapat bahwa “Barousai” yakni Barus. Kemudian nama ini tercatat dalah sejarah Dinasti Liang, Raja Tiongkok Selatan yang memerintah pada abad ke-6. Setelah itu Barus selalu disebut-sebut sampai sekarang dan kerap dihubungkan dengan kamper.
Pada abad ke-7, Barus kian tersohor hingga ke Eropa dan Timur Tengah karena menghasilkan kapur barus dan rempah-rempah. Masuknya Islam ke Nusantara diyakini melalui jalur perdagangan Barus ini. Jalur perdagangan ini dikenal sebagai jalur rempah karena para pedagang memiliki misi mencari rempah-rempah.
Claude Guillot memaparkan bukti-bukti bahwa sejak abad ke 6 Masehi Barus sudah menjadi kawasan perdagangan yang ramai. Pada akhir abad ke 7 yang juga merupakan abad pertama Hijriah, pedagang-pedagang Arab mulai menjejakkan kakinya di pelabuhan Barus.
Editor : Odi Siregar