Bagi masyarakat umum, kata arbitrase mungkin masih terdengar asing dan tidak populer, namun bagi kalangan masyarakat yang memang berkecimpung dalam dunia bisnis dan hukum, arbirtrase sudah tentu bukan merupakan hal yang baru dan asing lagi. Dalam sistem hukum di Indonesia, keberadaan arbitrase sebenarnya telah diperkenalkan pada tahun 1847 bersamaan dengan diberlakukakannya Rv (Reglement op de Burgerlijke Rechtsvordering) atau hukum acara perdata yang berlaku bagi orang eropa dan timur asing yang berada di Indonesia. Lalu apa sih Arbitrase itu? Jika berdasarkan Undang-undang nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (UU No. 30 Tahun 1999), Arbitrase merupakan cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Adapun yang dimaksud dengan perjanjian arbitrase adalah suatu kesepakatan berupa klausula arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis dan dibuat para pihak sebelum timbulnya sengketa, atau suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang di buat para pihak setelah timbul sengketa. Dengan adanya klausula arbitrase dalam kontrak atau perjanjian yang telah disepakati oleh para pihak tersebut, maka peradilan umum tidak lagi memiliki kewenangan untuk mengadili dan memutus sengketa tersebut.
Tidak semua sengketa dapat diselesaikan melalui arbitrase, hanya sengketa dibidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dikuasasi sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa yang dapat diperiksa. Sengketa yang menurut hukum tidak dapat diadakan perdamaian tidak bisa diajukan ke arbitrase. Dalam sistem hukum Indonesia dikenal 2 (dua) macam atau jenis arbitrase yaitu Arbitrase institusional (kelembagaan) yang sifatnya sudah permanen terlepas ada atau tidaknya sengketa seperti Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI), Badan Arbitrase Konstruksi Indonesia (BADAPSKI), dan Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) dan juga ada Arbitrase Ad Hoc yang bersifat sementara dan dibuat khusus untuk menyelesaiakan sengketa tertentu. Penyelesaian sengketa melalui arbitrase, dilaksanakan dengan membentuk forum dan pemeriksaan sengketa akan dilakukan oleh Arbirter yang jumlahnya ganjil, umumnya berjumlah 3 (tiga) orang dengan komposisi 2 (dua) arbirter dari masing-masing pihak dan 1 (satu) arbirter yang bersifat netral.
Dalam perkembangannya, abirtrase kini menjadi pilihan penyelesaian sengketa yang kian popular bagi para pebisnis yang kerap kali menghadapi sengketa atau konflik dalam aktivitas berbisnisnya. Kehadiran arbirtrase seakan menjadi angin segar ditengah anjloknya kepercayaan publik terhadap sistem peradilan di Indonesia. Sistem peradilan yang pada pronsipnya seharusnya cepat, sederhana dan berbiaya ringan, namun dalam praktek kerap kali prosesnya bertele-tele serta proses yang panjang dan berlaru-larut sehingga tidak ada kepastian waktu penyelesiannya. Selain itu, sistem peradilan Indonesia juga memiliki sifat pemeriksaan yang terbuka untuk umum sehingga siapa saja bisa mengetahui dan mengakses informasi-informasi yang sedang diperiksa. Kemampuan atau pengetahuan para hakim dalam memeriksa dan memutus suatu perkara yang masih bersifat generalis juga menjadi factor lain yang wajib dipertimbangkan oleh para pihak yang bersengketa, belum lagi isu sistem peradilan yang korup yang masih susah untuk dihilangkan. Hal-hal tersebut yang menyebabkan penyelesian sengketa melalui pengadilan menjadi pilihan yang kini kurang disukai dan diminati dalam penyelesian sengketa khususnya dalam dunia bisnis.
Pada umumnya lembaga arbitrase mempunyai kelebihan dibandingkan dengan lembaga peradilan. Kelebihan tersebut antara lain (Penjelasan UU 30 Tahun 1999):
a. dijamin kerahasiaan sengketa para pihak ;
b. dapat dihindari kelambatan yang diakibatkan karena hal prosedural dan administratif;
c. para pihak dapat memilih arbiter yang menurut keyakinannya mempunyai pengetahuan;
d. pengalaman serta latar belakang yang cukup mengenai masalah yang disengketakan, jujur dan adil;
e. para pihak dapat menentukan pilihan hukum untuk menyelesaikan masalahnya serta proses dan tempat penyelenggaraan arbitrase; dan
f. putusan arbiter merupakan putusan yang mengikat para pihak dan dengan melalui tata cara (prosedur) sederhana saja ataupun langsung dapat dilaksanakan.
g. waktu prosedur, dan biaya arbitrase lebih efesien, putusan bersifat final and binding, dan tertutup untuk upaya hukum banding dan kasasi.
Berdasarkan penjelasan di atas, Penggunaan arbitrase dalam penyelesian sengketa tentunya memiliki banyak keunggulan daripada menggunakan penyelesaian sengketa secara konvensioal, dalam hal ini menggunakan pengadilan. Namun, hal ini kemudian menjadi problematika apabila telah masuk ke pelaksanaan putusannya. Pengaturan mengenai pelaksanan putusan arbitrase dalam UU 30 Tahun 1999 sendiri juga masih multitafsir dan terdapat kontradiksi antara pasal yang satu dengan lainnya. Putusan arbitrase yang katanya langsung mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat para pihak, namun kenyatannya putusan tersebut masih wajib untuk didaftarkan oleh Arbiter atau kuasanya ke Pengadilan Negeri paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak putusannya diucapkan, yang artinya putusan arbitrase ini tidak memiliki daya paksa yang efektif, dan sangat bergantung kepada pengadilan jika putusan tidak dijalankan dengan sukarela. Lantas bagaimana jika putusan tersebut tidak didaftarkan ke Pengadilan Negeri? Pasal 59 ayat (4) UU 30 Tahun 1999 menyatakan jika tidak didaftarkan, maka putusan arbitrase tersebut menjadi tidak dapat dilaksanakan (non-executable).
Pendaftaran putusan arbitrase merupakan kewenangan dari pihak Arbirter (atau kuasanya), sehingga jika Arbirter (atau kuasanya) lalai dalam melaksanakan tugasnya, maka yang dirugikan tentunya pihak yang sedang bersengketa, apalagi Arbirter tidak bisa dituntut atas pelaksanaan tugasnya dalam proses penyelesian sengeta melalui arbitrase. Dalam prakteknya, ada beberapa kasus dimana putusan arbitrase tidak dapat dilaksanakan. Penulis mengabil contoh pada putusan arbitrase bidang konstruksi pada pembangunan jalan dan jembatan di Provinsi Sulawesi Utara yang tidak eksekutorial karena kelalaian dari pihak Arbirter (atau kuasanya) dalam proses pendaftaran putusan. Dalam kasus tersebut, pendaftaran putusan arbitrase ke Pengadilan Negeri telah melewati jangka waktu yang telah didtetapkan dalam UU 30 Tahun 1999 dan pendaftarannya juga tidak dilakukan pada Pengadilan Negeri yang tepat. Akibat kelalaian ini, putusan arbitrase tersebut menjadi tidak eksekutorial. Padahal biaya untuk berperkara di lembaga arbitrase tidaklah murah. Contohnya pada Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI), biaya arbitrase yang dikenakan sebesar 0,6% s/d. 10% dari nilai tuntutan yang diajukan dalam gugatan dan presntasi nilai tersebut akan berkurang dengan semakin besar nilai tuntutan yang diajukan dalam gugatan. Biaya arbitrase tersebut tentunya belum ditambah dengan PPN 10% dan biaya pendaftaran perkara sebesar Rp. 3.000.000,- (tiga juta rupiah). Sungguh harga yang sangat mahal jika pada akhirnya putusan tersebut tidak dapat dilaksanakan.
Pilihan penyelesaian sengketa melalui forum arbitrase seyogianya sudah merupakan solusi yang tepat untuk penyelesian sengketa khususnya dalam dunia bisnis karena selain sifatnya yang tertutup sehingga menjaga kerahasian kedua belah pihak yang bersengeta, didukung oleh arbirter yang memutus dan memutus bersifat professional dengan latar belakang keilmuan yang sesuai, juga menjamin penyelesian sengketa yang lebih efesien. Namun, dengan adanya problematika tersebut di atas, perlu dikembalikan kepada niat awal para pihak pada saat menadatangani perjanjian penyelesian sengekta melalui forum arbitrase karena sifat penyelesain sengeketanya yang efesien, maka proses penyelesiaan sengketa melalui arbitrase ini mau tidak mau harus dikembalikan lagi pada prinsip dasar penyelesiaan sengketa diluar sistem peradilan yaitu prinsip itikad baik yang artinya dibutuhkan komitmen itikad baik dari para pihak untuk menyelesaikan sengketa melalui forum arbirtrase ini sehingga putusan dapat dilakasanakan secara sukarela tanpa perlu menggunakan peradilan. Selain itu, UU No. 30 tahun 1999 yang menjadi dasar hukum arbirtrase di Indonesia ini juga telah berumur 23 (dua puluh tiga) tahun, sehingga perlu dilakukan peninjauan kembali terhadap isi dari peraturan tersebut untuk menjamin kepastian hukum khususnya terhadap pelaksaan putusannya, karena kini pilihan penyelesian sengekta melalui arbitrase telah menjadi pilihan yang popular dan diminati oleh masyarakat. Peninjauan terhadap aturan ini menjadi penting karena pada dasarnya suatu peraturan yang baik harusnya responsif terhadap isu dan perkembangan didalam masyarakat.
(Iin Hidayah Nawir, SH. Analis Hukum, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat)
Editor : Odi Siregar
Artikel Terkait