Ia menambahkan, sudah ada pula rencana industri yang bisa mengolah kemenyan menjadi parfum dan produk bernilai tinggi lain. Bagi masyarakat Simardangiang, keberadaan pabrik pengolahan kemenyan di kawasan mereka akan berdampak positif. “Kalau produksi lebih dekat ke kampung, otomatis harga akan meningkat. Itu harapan kami,” tegasnya.
Komitmen Menjaga Hutan
Tampan menegaskan, profesi petani kemenyan tidak bisa digantikan begitu saja. Proses menoreh pohon kemenyan membutuhkan keahlian khusus dan hanya bisa dilakukan oleh orang-orang yang terbiasa menjaga serta melestarikan hutan.
“Tidak semua orang bisa menyadap pohon kemenyan. Harus orang yang sudah melihat, menumbuhkan, menjaga, dan melestarikannya. Kalau petani kemenyan keluar, otomatis produksi hilang,” katanya.
Karena itu, ia menolak pandangan bahwa masyarakat harus meninggalkan kemenyan demi komoditas lain. Masyarakat adat, lanjutnya, justru berkomitmen untuk terus menanam kemenyan baru tanpa merusak hutan. “Kami tetap menumbuhkan kemenyan. Bukan mengganti hutan dengan tanaman lain, tapi menjaga agar tetap jadi hutan hasil hutan bukan kayu,” ujarnya.
Ia juga menjelaskan, di Desa Simardangiang terdapat tiga jenis pohon kemenyan: Haminjon Towa, Haminjon Durame, dan Haminjon Bulu. Masing-masing memiliki karakteristik pertumbuhan dan nilai ekonomi berbeda. “Haminjon Towa itu paling mahal, getahnya putih dan aromanya beda. Tapi baru bisa disadap tujuh sampai sepuluh tahun setelah ditanam,” katanya.
Sementara Durame bisa dipanen dalam lima sampai tujuh tahun, dan Bulu lebih cepat lagi, sekitar empat sampai tujuh tahun. Namun, meski lebih lama, Towa tetap dipertahankan karena kualitas getahnya unggul dan bisa berproduksi ratusan tahun. “Ada pohon kemenyan umur 150 tahun lebih, sampai sekarang masih berproduksi,” ungkapnya.
Merawat Kearifan Lokal
Penyadap kemenyan, kata Tampan, bukan sekadar soal teknis melukai batang pohon. Pohon dianggap punya "waktu" sendiri untuk mengeluarkan getah. Jika disadap pada waktu yang salah, getah tidak keluar, bahkan pohon bisa menutup lukanya sendiri.
"Kalau dikerjakan sesuai selera pohon, dia akan mengeluarkan banyak getah. Tapi kalau dipaksa, tidak akan berhasil. Pohon kemenyan ini unik, dia hidup berdampingan dengan manusia dan hutan sekitarnya," terangnya.
Proses menyadap juga membutuhkan tenaga ekstra. Untuk satu pohon, dibutuhkan waktu setengah jam, sehingga dalam sehari seorang petani hanya bisa menggarap enam pohon. "Berbeda dengan karet, kalau kemenyan hasilnya terbatas. Karena itu harus dikumpulkan sedikit demi sedikit," jelasnya.
Tampan menegaskan bahwa masyarakat adat Simardangiang tidak akan menebang pohon kemenyan, bahkan ketika pohon sudah tidak produktif.
"Di kampung kami sangat dilarang menebang pohon kemenyan. Bahkan sebesar-besarnya, pohon itu tidak boleh ditebang. Biarlah dia mati dengan sendirinya," katanya.
Dari Sopir Truk Kini Praktisi Kopi
Praktisi kopi asal Marancar, Tapanuli Selatan, Abdul Wahid Harahap, berbagi pengalamannya dalam mengembangkan usaha kopi berkonsep konservasi. Dalam sebuah seminar hasil hutan bukan kayu (HHBK), ia menekankan bahwa kopi bukan sekadar komoditas, melainkan juga jalan menuju kesejahteraan masyarakat tanpa merusak lingkungan.
"Kami para petani justru lebih menjaga hutan daripada yang sering dianggap orang. Kami tidak pakai pestisida kimia, tidak merusak hutan. Limbah rumah tangga kami olah jadi pupuk. Konsepnya sederhana: bertani sambil menjaga alam," ungkap Wahid.
Editor : Jafar Sembiring
Artikel Terkait
