Menggali Manfaat Hasil Hutan Non-Kayu untuk Masa Depan Berkelanjutan

Chris
Menggali Manfaat Hasil Hutan Non-Kayu untuk Masa Depan Berkelanjutan. Foto: Istimewa

Pengelolaan HHBK dan Kemandirian Petani

Direktur Lembaga Sertifikasi Organik Seloliman (LESOS) yang berkantor di Jawa Timur, Purnomo, menjelaskan panjang-lebar perjalanan lembaganya sejak awal 1990-an bergerak di bidang lingkungan hingga fokus pada penguatan ekonomi masyarakat tepi hutan melalui produk-produk organik dan hasil hutan non-kayu.

Dikatakannya, LESOS berdiri sebagai bagian dari upaya di Pusat Pendidikan Lingkungan Hidup (PPLH) Seloliman, sebuah desa kecil di lereng Gunung Penanggungan (1.653 mdpl), yang sudah lama dikenal secara internasional karena komitmennya pada lingkungan. Sejak 2006, lembaga ini mulai mendorong produk organik, baik hasil budidaya maupun hasil hutan.

“Dari hasil hutan ini cukup menarik sebenarnya, karena bisa memperkuat masyarakat tepi hutan secara ekonomi. Tapi di sana banyak problem yang dihadapi,” ujarnya.

Ada yang Mengkhawatirkan

Dijelaskan Purnomo, sudah terjadi penurunan daya dukung lahan yang diduga akibat praktik pertanian yang tidak berkelanjutan. Ia menggambarkan bagaimana masyarakat, karena keterbatasan keterampilan, sering merambah lebih jauh ke dalam hutan lindung, bahkan hingga ke puncak Gunung Kerinci.

“Alhamdulillah ada potensi pengelolaan hutan non-kayu, misalnya kopi. Itu bisa menghentikan perambahan. Tapi di sisi lain, penggunaan racun kimia yang berlebihan merusak tanah dan menimbulkan banyak penyakit tanaman,” jelasnya.

Menurut Purnomo, dampaknya begitu jelas, seperti tanah longsor, banjir di daerah yang sebelumnya tidak pernah tergenang, serta erosi yang menggerus nutrisi lahan. Purnomo mencontohkan daerah Sumbawa yang dulunya tidak pernah banjir, namun berubah setelah ada program pemerintah yang memaksa pembukaan lahan secara besar-besaran.

Keterbatasan Akses

Selain kerusakan lingkungan, problem utama yang dihadapi masyarakat tepi hutan adalah keterbatasan akses: dari permodalan, pasar, hingga informasi. Meski kini jaringan internet dan televisi sudah menjangkau desa-desa, informasi spesifik mengenai komoditas bernilai ekonomi masih sulit didapatkan oleh petani.

“Masyarakat sebenarnya punya peluang besar. Misalnya tanaman untuk kosmetik atau medis, itu nilainya tinggi. Tapi mereka minim informasi. Akhirnya banyak yang lebih memilih menanam sayur cepat panen, walau sebenarnya sering rugi,” jelasnya.

Ia menambahkan, pola tanam monokultur yang kerap didorong program pemerintah juga berisiko. Menurutnya, stabilitas lingkungan menuntut keberagaman tanaman: kopi, kakao, alpukat, hingga pohon kayu untuk kebutuhan jangka panjang. “Petani tidak hanya butuh makan atau kopi saja. Mereka juga butuh kayu untuk membangun rumah. Jadi harus ada kombinasi,” tegasnya.

Faktor Ketergantungan

Purnomo juga menyoroti mahalnya biaya produksi akibat benih, pupuk, dan pestisida yang kini menjadi komoditas dagang besar. Petani semakin jarang membuat benih sendiri, dan kasus kriminalisasi kepala desa di Aceh yang mengembangkan benih padi lokal menjadi peringatan.

“Bayangkan, kalau lima perusahaan benih jagung berhenti menjual, dalam tiga bulan ketahanan pangan kita bisa runtuh. Itu bahaya besar,” ucapnya. Karena itu, ia mendorong agar benih lokal bisa dikembangkan oleh masyarakat sendiri, dengan dukungan perguruan tinggi maupun dinas terkait.

Editor : Jafar Sembiring

Halaman Selanjutnya
Halaman : 1 2 3 4 5 6 7

Bagikan Artikel Ini
Konten di bawah ini disajikan oleh Advertiser. Jurnalis iNews Network tidak terlibat dalam materi konten ini.
News Update
Kanal
Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik Lebih Lanjut
MNC Portal
Live TV
MNC Network